Rabu, 19 Oktober 2016

Terlalu Tiba-Tiba...




Secara mendadak ayah dan ibu menyuruhku pulang. Tak ada hal apapun yang terlintas di benakku, aku memang janji bahwa minggu ini akan pulang.

“Rasyid, nanti ada yang datang kamu siap-siap ya” Suara ibu dari dapur mengagetkanku.

Aku baru sampai sore ini, dan nanti malam langsung disuruh bersiap. Apa yang mau disiapkan? Perasaan tidak ada obrolan apapun sebelumnya, aneh batinku berpikir.

Setelah sholat isya seperti biasa kalau dirumah aku nonton TV sambil ngemil atau main dengan sepupu kecil yang baru berumur dua tahun. Masih menggunakan kemeja dan celana dasar hitam dari pulang, tidak perlu mengganti pakaian yang lain. Menurutku ini sudah rapi, tapi tetap saja tidak tahu apa yang dimaksud ibu tadi sore.

“Mas, sebentar lagi teman ayah yang pengusaha itu datang dengan anak perempuannya, katanya mau ditaarufkan, kamu siap-siap ya” Ayah yang baru saja pulang dari kedainya, mengatakan sesuatu yang membuatku menganga.

What? Taaruf? Bukankah ibu bilang masih 2-3 tahun lagi aku boleh menikah, kenapa malah sekarang. Dan teman ayah yang itu? Bukankah orang terpandang dan semua anaknya dari pesantren, aduh mana pantaslah. Yang terpenting aku belum siap, duh pikiranku tak menentu, kacau kalau begini.

Kuungkapkan keheranan ini dengan ibu yang baru keluar dari kamar.

“Bu, maksud ayah apa tadi taaruf? Memang siapa yang mau taaruf? Rasyid mah belum mau, belum siap kali. Masih ada kontrak nih di SMA tempat mengajar, dan lagi kan masih menunggu wisuda S2 yang belum selesai, masih mengerjakan Thesis Sastra Rasyid Bu” Pajang lebar aku mencari pembelaan dengan ibu memperjelas apa yang terjadi.

“Gimana bilangnya ya, memang sih ibu dulu tidak menyuruh kamu cepat-cepat, tapi yah mau bagaimana lagi, jodoh kan tidak ada yang tahu. Kamu ikuti saja ya prosesnya” Ibu berlalu sambil tersenyum.

Belum pernah Kulihat ibu sampai sebahagia itu.

Pikiran semakin berkecamuk, sekarang aku malah takut dengan namanya pernikahan. Memang sih sudah banyak baca buku bahkan ikut beberapa kegiatan yang mengarahkan dan membahas tentang hal itu. Tapi ini terlalu mendadak. Sedangkan aku, yah mana bukan orang yang bagus-bagus amat.

Bapaknya kan ustad pengusaha yang mapan, aku saja masih sesak napas untuk bisa menghidupi diri sendiri. Memang sudah ada penghassilan tapi untuk menikah, ah... Bodo amat deh.
***

Ku buka mata dari tempat tidur. Masih teringat jelas apa yang terjadi semalam, tapi masih terasa itu bukan kenyataan. Terlalu cepat semuanya terjadi.

Ku kejap-kejapkan lagi mata ini, berharap semua itu benar-benar hanya ilusi.

“Rasyid, bantu ibu sebentar, malam ini kan bakal proses khitbah” Kembali suara ibu dari dapur lantang terdengar.

Secara sekilas aku merasa de javu. Kali ini benar-benar cemas, berarti yang kurasa semalam itu bukan mimpi. Aduh, ya Allah, apa aku akan benar-benar menikah? Rasanya ingin menangis deh. Biarin dibilang cowok cengeng, yang penting ini tidak benar-benar terjadi.

Dengan lemas dan malas, kuhampiri ibu di dapur untuk membantunya mengemas beberapa makanan ringan. Tidak ada sepatah katapun yang kutanyakan, semakin bertanya rasanya akan semakin membuat diri ini tidak bisa menerima kenyataan.

Malamnya ruang tamu rumah yang tidak terlalu besar sudah ditata lebih rapi dari biasanya. Mesin jahit dan lemari buku sudah dipindah di depan ruang TV. Karpetpun sudah diganti dengan yang baru. Mau kabur tidak mungkin, nafasku dari tadi sore sudah tidak beraturan, rasanya jantung berdetak dua kali lebih cepat, bahkan beberapa kali keringat membasahi baju kaos dalam yang dikenakan.

Rasanya lebih grogi daripada bimbingan dengan dosen ketika bimbingan thesis minggu lalu. Tidak ada cara lain kah untuk menghalanginya?

“Assalamualaikum...” Suara teman ayah yang pengusaha sekaligus ustad itu datang. Meskipun jarang ketemu aku yakin itu adalah dia.

Suara dibelakangnya menyusul, itu anak ketiganya. seorang muslimah yang seumuran denganku, meskipun secara angkatan sekolah aku lebih dulu dari dia. Sedikit mengintip dari balik tirai, beberapa bingkisan dibawakan oleh keluarganya. Meskipun sedikit mengherankan karena pihak perempuan yang mendatangi pihak laki-laki, tapi kondisi sekarang membuatku menepis keraguan itu.

Tidak ada alasan syar’i untuk menolaknya, namun secara pribadi akupun belum siap untuk menerima perubahan status ini.

“Mas, sini ke depan” Ayah memanggilku. Tak ada cara untuk menghindarinya.

Sedikit tarikan nafas dan bismillah, aku masuk ke ruang tamu. Ibu, Ayah, Paman, dan keluaraga dari teman ayah berkumpul. Sedikit senyum ku sunggingkan lalu langsung mengambil posisi duduk paling sudut.

“Jadi bagaimana Pak Ibrahim?” Ayah memulai pembicaraan proses Khitbah ini.

“Seperti yang sudah disampaikan taaruf kemaren pak, Putri saya Sarah, mau saya jodohkan dengan si Rasyid. Sarah sendiri tidak masalah dan mengikuti saja tinggal Rasyid dan yang lainnya seperti apa” Dengan logat khas selatan, Pak Ibrahim mengutarakan maksudnya dengan jelas tanpa banyak basa-basi.

Hening tidak ada yang menjawab. Kulihat ayah, ibu, paman dan keluarga lainnya hanya senyum dan saling pandang satu sama lain. Terlihat seperti sebuah kode tanda setuju atas apa yang terjadi saat ini.

“Rasyid, kamu bagaimana?” Ayah kembali menanyakan keputusanku.

Begitu banyak pikiran yang bercabang. Aku sendiri sebenarnya ingin memilih jodoh yang lebih pas. Bukan berarti Sarah anak Pak Ibrahim ini tidak baik, malah lebih merasa aku yang jauh dibawahnya. Lebih penting lagi, sampai sekarang belum terpintas di benak untuk melakukan hal ini. Menyelesaikan thesis s2 jauh lebih penting, supaya tidak kehilangan fokus.

Di sisi lain aku memikirkan orang tua. Bagaimana perasaan mereka jika kutolak lamaran ini, sedangkan tidak ada udzur syar’i untuk menolaknya. Hubungan baik dengan Pak Ibrahim pun akan menjadi renggang takutnya.

“Rasyid ikut Ayah dan Ibu saja” selesai sudah, tak ada yang bisa menahan lagi. Ucapan yang kulontarkan ini tentu menjadi sinyal keras bahwa akan terjadi perubahan status menjadi seorang suami.

Kembali mataku terpejam dan terbuka. Keadaran akan kejadian yang begitu singkat ini membuat bertanya di dalam hati. Benarkah itu terjadi atau hanya sekedar kilatan mimpi. Tapi terasa nyata, bahkan pada setiap kejadiannya.

***

Hari yang disepakati telah tiba, sekitar satu jam lagi aku akan melakukan ijab qabul. Ah, sebuah hal yang sedikitpun hanya terlintas di pikiran, tapi belum ada keinginan untuk menjadikannya kenyataan. Baju hitam adat jawa bertengger di badan dengan pas. Calon istriku pun demikian, dengan muka yang tidak terlalu di make up, baju merah dan jilbab putih menutupi dirinya dengan anggun.

Tinggal di daerah memang harus mengikuti beberapa tradisi. Aku yang sudah menolaknya, tidak bisa menghalangi hal ini terjadi. Meskipun tidak terlalu jauh, kami berdua di arak, dari rumah menuju masjid untuk melakukan prosesi Ijab qabul. Beberapa pamanku memegang rebana dan memainkannya.

Meskipun hanya kerabat keluaraga yang menghadiri, karena persiapan yang cepat dan tidak banyak ribet, masjid An-Nisa ini menjadi terlihat cukup penuh. Aku yang di dampingi oleh teman seperjuangan kuliah sebagai pengapit, memasuki masjid dari pintu samping kanan. Sedangkan Sarah, melalui pintu bagian belakang masjid bersama para ibu-ibu yang mengantar.

Di depanku Pak Ibrahim sudah siap untuk menyerahkan anak perempuannya dengan sah dan halal. Penghulu di samping kiri juga sudah bersiap melakukan tugasnya.

Tanganku di genggam kuat tapi bersahabat oleh Pak Ibrahim, seulas senyum tulus dari muka yang sudah mulai berkeriput, memberikan sedikit ketenangan padaku. Lalu proses sakral itu dimulai.

“Saya Terima Nikahnya, Sarah binti Ibrahim, dengan Mas Kawin Seperangkat Alat Sholat dan Tafsir Quran Sepuluh Jilid Dibayar Tunai” Dengan cepat dan keras, kuucapkan kalimat sederhana namun berat itu.

Sah...

Seluruh hadirin di ruangan itu bersyukur dan doa sholawat di pimpin oleh imam masjid. Percaya tak percaya semua kejadian ini begitu cepat dan sekarang aku sudah menjadi seorang suami.

Kejutan atas semua kejadian itu membuat ku terbangun. Aku langsung duduk mengamati langit-langit rumah kontrakan. Alhamdulillah, itu semua hanya mimpi. Meskipun hanya satu jam setelah shubuh karena ketiduran, tapi semua rangkaian kejadian panjang membuatku sempat tertegun.

Istighfar kuucapkan berulang kali, dan rasa lega membuat bibir ini tersenyum lebih lebar. Benar-benar beryukur sekali lagi, semua itu hanya mimpi, aku beranjak dari atas kasur dan langsung ke kamar mandi, bersiap untuk berangkat mengajar pagi ini.

2 komentar:

Zefy Arlinda mengatakan...

Seharusnya itu kenyataan heheheess

Usamah Izzuddin Al-qosam mengatakan...

Hoho, namanya juga cerita mbak, endingnya dibikin agak nggak nyangka lebih asyik kyaknya, he

Posting Komentar

 
;