Secara mendadak ayah dan ibu
menyuruhku pulang. Tak ada hal apapun yang terlintas di benakku, aku memang
janji bahwa minggu ini akan pulang.
“Rasyid, nanti ada yang datang kamu
siap-siap ya” Suara ibu dari dapur mengagetkanku.
Aku baru sampai sore ini, dan nanti
malam langsung disuruh bersiap. Apa yang mau disiapkan? Perasaan tidak ada
obrolan apapun sebelumnya, aneh batinku berpikir.
Setelah sholat isya seperti biasa
kalau dirumah aku nonton TV sambil ngemil atau main dengan sepupu kecil yang
baru berumur dua tahun. Masih menggunakan kemeja dan celana dasar hitam dari
pulang, tidak perlu mengganti pakaian yang lain. Menurutku ini sudah rapi, tapi
tetap saja tidak tahu apa yang dimaksud ibu tadi sore.
“Mas, sebentar lagi teman ayah yang
pengusaha itu datang dengan anak perempuannya, katanya mau ditaarufkan, kamu
siap-siap ya” Ayah yang baru saja pulang dari kedainya, mengatakan sesuatu yang
membuatku menganga.
What? Taaruf? Bukankah ibu bilang
masih 2-3 tahun lagi aku boleh menikah, kenapa malah sekarang. Dan teman ayah
yang itu? Bukankah orang terpandang dan semua anaknya dari pesantren, aduh mana
pantaslah. Yang terpenting aku belum siap, duh pikiranku tak menentu, kacau
kalau begini.
Kuungkapkan keheranan ini dengan ibu
yang baru keluar dari kamar.
“Bu, maksud ayah apa tadi taaruf?
Memang siapa yang mau taaruf? Rasyid mah belum mau, belum siap kali. Masih ada
kontrak nih di SMA tempat mengajar, dan lagi kan masih menunggu wisuda S2 yang
belum selesai, masih mengerjakan Thesis Sastra Rasyid Bu” Pajang lebar aku
mencari pembelaan dengan ibu memperjelas apa yang terjadi.
“Gimana bilangnya ya, memang sih ibu
dulu tidak menyuruh kamu cepat-cepat, tapi yah mau bagaimana lagi, jodoh kan
tidak ada yang tahu. Kamu ikuti saja ya prosesnya” Ibu berlalu sambil tersenyum.
Belum pernah Kulihat ibu sampai
sebahagia itu.
Pikiran semakin berkecamuk, sekarang
aku malah takut dengan namanya pernikahan. Memang sih sudah banyak baca buku
bahkan ikut beberapa kegiatan yang mengarahkan dan membahas tentang hal itu.
Tapi ini terlalu mendadak. Sedangkan aku, yah mana bukan orang yang bagus-bagus
amat.
Bapaknya kan ustad pengusaha yang
mapan, aku saja masih sesak napas untuk bisa menghidupi diri sendiri. Memang
sudah ada penghassilan tapi untuk menikah, ah... Bodo amat deh.
***
Ku buka mata dari tempat tidur. Masih
teringat jelas apa yang terjadi semalam, tapi masih terasa itu bukan kenyataan.
Terlalu cepat semuanya terjadi.
Ku kejap-kejapkan lagi mata ini,
berharap semua itu benar-benar hanya ilusi.
“Rasyid, bantu ibu sebentar, malam
ini kan bakal proses khitbah” Kembali suara ibu dari dapur lantang terdengar.
Secara sekilas aku merasa de javu.
Kali ini benar-benar cemas, berarti yang kurasa semalam itu bukan mimpi. Aduh,
ya Allah, apa aku akan benar-benar menikah? Rasanya ingin menangis deh. Biarin
dibilang cowok cengeng, yang penting ini tidak benar-benar terjadi.
Dengan lemas dan malas, kuhampiri ibu
di dapur untuk membantunya mengemas beberapa makanan ringan. Tidak ada sepatah
katapun yang kutanyakan, semakin bertanya rasanya akan semakin membuat diri ini
tidak bisa menerima kenyataan.
Malamnya ruang tamu rumah yang tidak
terlalu besar sudah ditata lebih rapi dari biasanya. Mesin jahit dan lemari
buku sudah dipindah di depan ruang TV. Karpetpun sudah diganti dengan yang
baru. Mau kabur tidak mungkin, nafasku dari tadi sore sudah tidak beraturan,
rasanya jantung berdetak dua kali lebih cepat, bahkan beberapa kali keringat
membasahi baju kaos dalam yang dikenakan.
Rasanya lebih grogi daripada
bimbingan dengan dosen ketika bimbingan thesis minggu lalu. Tidak ada cara lain
kah untuk menghalanginya?
“Assalamualaikum...” Suara teman ayah
yang pengusaha sekaligus ustad itu datang. Meskipun jarang ketemu aku yakin itu
adalah dia.
Suara dibelakangnya menyusul, itu
anak ketiganya. seorang muslimah yang seumuran denganku, meskipun secara angkatan
sekolah aku lebih dulu dari dia. Sedikit mengintip dari balik tirai, beberapa
bingkisan dibawakan oleh keluarganya. Meskipun sedikit mengherankan karena
pihak perempuan yang mendatangi pihak laki-laki, tapi kondisi sekarang
membuatku menepis keraguan itu.
Tidak ada alasan syar’i untuk
menolaknya, namun secara pribadi akupun belum siap untuk menerima perubahan
status ini.
“Mas, sini ke depan” Ayah
memanggilku. Tak ada cara untuk menghindarinya.
Sedikit tarikan nafas dan bismillah,
aku masuk ke ruang tamu. Ibu, Ayah, Paman, dan keluaraga dari teman ayah
berkumpul. Sedikit senyum ku sunggingkan lalu langsung mengambil posisi duduk
paling sudut.
“Jadi bagaimana Pak Ibrahim?” Ayah
memulai pembicaraan proses Khitbah ini.
“Seperti yang sudah disampaikan
taaruf kemaren pak, Putri saya Sarah, mau saya jodohkan dengan si Rasyid. Sarah
sendiri tidak masalah dan mengikuti saja tinggal Rasyid dan yang lainnya
seperti apa” Dengan logat khas selatan, Pak Ibrahim mengutarakan maksudnya
dengan jelas tanpa banyak basa-basi.
Hening tidak ada yang menjawab.
Kulihat ayah, ibu, paman dan keluarga lainnya hanya senyum dan saling pandang
satu sama lain. Terlihat seperti sebuah kode tanda setuju atas apa yang terjadi
saat ini.
“Rasyid, kamu bagaimana?” Ayah
kembali menanyakan keputusanku.
Begitu banyak pikiran yang bercabang.
Aku sendiri sebenarnya ingin memilih jodoh yang lebih pas. Bukan berarti Sarah
anak Pak Ibrahim ini tidak baik, malah lebih merasa aku yang jauh dibawahnya.
Lebih penting lagi, sampai sekarang belum terpintas di benak untuk melakukan
hal ini. Menyelesaikan thesis s2 jauh lebih penting, supaya tidak kehilangan
fokus.
Di sisi lain aku memikirkan orang
tua. Bagaimana perasaan mereka jika kutolak lamaran ini, sedangkan tidak ada
udzur syar’i untuk menolaknya. Hubungan baik dengan Pak Ibrahim pun akan
menjadi renggang takutnya.
“Rasyid ikut Ayah dan Ibu saja”
selesai sudah, tak ada yang bisa menahan lagi. Ucapan yang kulontarkan ini
tentu menjadi sinyal keras bahwa akan terjadi perubahan status menjadi seorang
suami.
Kembali mataku terpejam dan terbuka.
Keadaran akan kejadian yang begitu singkat ini membuat bertanya di dalam hati.
Benarkah itu terjadi atau hanya sekedar kilatan mimpi. Tapi terasa nyata,
bahkan pada setiap kejadiannya.
***
Hari yang disepakati telah tiba,
sekitar satu jam lagi aku akan melakukan ijab qabul. Ah, sebuah hal yang
sedikitpun hanya terlintas di pikiran, tapi belum ada keinginan untuk
menjadikannya kenyataan. Baju hitam adat jawa bertengger di badan dengan pas.
Calon istriku pun demikian, dengan muka yang tidak terlalu di make up, baju
merah dan jilbab putih menutupi dirinya dengan anggun.
Tinggal di daerah memang harus
mengikuti beberapa tradisi. Aku yang sudah menolaknya, tidak bisa menghalangi
hal ini terjadi. Meskipun tidak terlalu jauh, kami berdua di arak, dari rumah
menuju masjid untuk melakukan prosesi Ijab qabul. Beberapa pamanku memegang
rebana dan memainkannya.
Meskipun hanya kerabat keluaraga yang
menghadiri, karena persiapan yang cepat dan tidak banyak ribet, masjid An-Nisa
ini menjadi terlihat cukup penuh. Aku yang di dampingi oleh teman seperjuangan
kuliah sebagai pengapit, memasuki masjid dari pintu samping kanan. Sedangkan
Sarah, melalui pintu bagian belakang masjid bersama para ibu-ibu yang
mengantar.
Di depanku Pak Ibrahim sudah siap
untuk menyerahkan anak perempuannya dengan sah dan halal. Penghulu di samping
kiri juga sudah bersiap melakukan tugasnya.
Tanganku di genggam kuat tapi
bersahabat oleh Pak Ibrahim, seulas senyum tulus dari muka yang sudah mulai
berkeriput, memberikan sedikit ketenangan padaku. Lalu proses sakral itu
dimulai.
“Saya Terima Nikahnya, Sarah binti
Ibrahim, dengan Mas Kawin Seperangkat Alat Sholat dan Tafsir Quran Sepuluh
Jilid Dibayar Tunai” Dengan cepat dan keras, kuucapkan kalimat sederhana namun
berat itu.
Sah...
Seluruh hadirin di ruangan itu
bersyukur dan doa sholawat di pimpin oleh imam masjid. Percaya tak percaya
semua kejadian ini begitu cepat dan sekarang aku sudah menjadi seorang suami.
Kejutan atas semua kejadian itu
membuat ku terbangun. Aku langsung duduk mengamati langit-langit rumah
kontrakan. Alhamdulillah, itu semua hanya mimpi. Meskipun hanya satu jam
setelah shubuh karena ketiduran, tapi semua rangkaian kejadian panjang
membuatku sempat tertegun.
Istighfar kuucapkan berulang kali,
dan rasa lega membuat bibir ini tersenyum lebih lebar. Benar-benar beryukur
sekali lagi, semua itu hanya mimpi, aku beranjak dari atas kasur dan langsung
ke kamar mandi, bersiap untuk berangkat mengajar pagi ini.
2 komentar:
Seharusnya itu kenyataan heheheess
Hoho, namanya juga cerita mbak, endingnya dibikin agak nggak nyangka lebih asyik kyaknya, he
Posting Komentar