Rabu, 21 September 2016

Di Rumah Menjadi Anak Sulung, Di Lingkungan Menjadi Anak Bungsu

Berumur 22 tahun enam belas hari lalu menunjukkan sebuah perjalan hidup yang tidak sebentar. Tentu banyak yang sudah dilewati.


Menjadi anak Sulung di keluarga memiliki amanah besar. Menjadi contoh, panutan dan yang pertama dalam melakukan sesuatu agar bisa dicontoh dan diikuti oleh adik-adik. Bersyukur kami berempat memiliki gaya dan passion masing-masing sehingga tidak memiliki ketergantungan yang berlebihan satu sama lain. Memiliki kemampuan di bidang yang dikuasai menjadikan kami terus tampil maksimal dari apa yang dipegang.

Namun, menjadi yang cepat dalam proses menjadikan itu semua berkebalikan dalam lingkungan. Memulai sekolah dasar pada umur empat tahun sepuluh bulan menjadikan anak termuda secara umur di kelas, dan juga badan yang kecil. Ketika sd pertumbuhan masih lambat. Namun memang belum diterima ketika ingin dimasukkan di SD dekat rumah, SD 6 Curup. Akhirnya di masukkan ke SD yang mau menerima yang jaraknya cukup jauh dari rumah. Barulah ketika kelas dua dipindahkan ke SD dekat Rumah.

Masih ingat ketika sudah mencapai kelas lima SD, dan hampir menuju kenaikan kelas enam SD. Ummi memberi usul bahwa tidak usah naik kelas dulu, dipikir masih terlalu cepat. Saat itu saya tidak masalah, mengikuti apa saja yang terjadi. Namun akhirnya tetap saja naik kelas enam SD.

Dua minggu setelah menjalani kelas enam di SD 6 Curup, saya harus pindah bersama keluarga ke Bengkulu Utara, Argamakmur. Dan disana langsung mendaftar di SD 17 Argamakmur.

Ketika menyesuaikan dengan kondisi yang baru saya masih sedikit tertinggal, lagi-lagi menjadi anak paling kecil di kelas. Alhamdulillah dalam beberapa bulan, meskipun menjadi yang bungsu di lingkungan sekitar, saya menjadi delegasi Bengkulu bersama teman-teman untuk mengikuti perlombaan puitisasi al-quran di jakarta timur.

Sekitar umur 10 tahun saya lulus SD, dan masuk ke SMP 2 Argamakmur. Yah, tidak jauh kondisinya seperti ketika SD sebelumnya, menjadi seorang yang kecil di kelas. Bukan hanya kecil umur, namun mental sayapun di SMP ini, semakin kecil. Duduk satu tahun di sebelah preman kelas, membuat saya tertindas, hehe. Benar-benar dimanfaatkan deh.

Umur 13 tahun lulus SMP, dan masuk SMA. Di lingkungan SMA saya tidak terlalu menjadi yang bungsu lagi, mulai ada beberapa orang yang seumuran dengan saya, namun mereka yang ketika SMPnya melalui program percepatan kelas. Sehingga secara umum mereka juga mampu lulus lebih cepat. Pernah terbayang jika saja saya ikut program percepatan, maka saya pasti sudah lebih cepat lagi sekolahnya.

Umur 16 tahun lebih saya lulus SMA, dan di umur 17 tahun hari pertama masuk kuliah. Awalnya sempat berpikir apakah menjadi yang termuda lagi? Secara tahun umur masih ada yang sama-sama 94, namun secara bulan, ya saya masih termasuk yang paling kecil.

Tapi sekarang apakah bisa mengatakan seperti itu? Tentu tidak. Karena kedewasaan dan kematangan tidak bisa diukur oleh umur. Bukan berarti saya mengatakan diri saya sendiri sudah dewasa, hanya orang yang bisa menilainya.

Namun beberapa kali masuk ke dunia kerja, kembali saya menjadi anak bungsu. Terakhir sekarang di SMP yang menjadi tempat saya mengajar sekarang. Saya kira ada yang sepantaran. Namun setelah tahu, ternyata saya menjadi yang paling bungsu disini. Memang secara semester kuliah, ada beberapa yang tahun angkatannya masih di bawah saya. Namun secara umur saya masih menjadi yang paling bungsu. Haha, tapi kalau dikatakan kelahiran 94, apalagi bulan-bulan akhir, masih banyak yang tidak percaya. Sampai-sampai KTP saja dibilang palsu, hehe.

Yang penting bukan seberapa muda atau tua umur, tapi seberapa cekatan dan baik menghadapi keadaan yang ada disekitar. Karena umur tua bisa jadi tingkahnya anak-anak, dan umur muda pemikiran dan sikapnya sudah dewasa.

Salam Semangat.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;