Jumat, 20 Januari 2017

KABUR dan PERGI



“Kamu harus kuliah dulu, baru menikah Fajar!!!” Aku hanya diam mendengar perkataan Ibu.

Ayah, Ibu, dan Nenek di depanku terus menyuruh untuk memilih. Sebenarnya aku ingin bekerja setelah tiga bulan kelulusan dipendidikan S1 hukum ini. Namun ada seorang teman yang juga menawarkan perempuan muslimah yang siap untuk menikah.

Saat kuutarakan keinginan ini keluarga malah marah besar dan tidak setuju. Aku tahu hal ini belum pasti, namun jika baru mengatakan pendapat saja sudah seperti ini, akupun ragu dan bingung untuk memenuhi keinginan mereka. Padahal jika berkata baik-baik aku pun akan mau mendengarkan dan memahami mereka.

“Jangan diam saja, kamu ini tidak tahu untung, mau jadi anak durhaka ya?” Kali ini lengkingan suara Ayah yang menggema.

Aku tidak tahu harus menjawab apa. Keluarga yang memang dari keturunan terpandang mengedepankan kualitas pendidikan adalah nomor satu, dari dulu selalu begitu. Nenek dan kakekpun semuanya mengenyam pendidikan sampai S2, Ayah bahkan sampai S3. Aku tidak tahu apa yang membuatnya sampai gila pendidikan.

“Fajar capek ingin tidur dulu” Tanpa menoleh lagi langsung kulangkahkan kaki ke kamar.

Terdengar omelan-omelan yang saling mengiringi dari Ibu, Ayah, dan Nenek. Aku pun tidak langsung tidur. Hal ini sudah menjadi sesak di dalam hati. Semakin mendengarkan mereka semakin kebingungan menghinggapi. Aku harus keluar dari rumah ini.

Malam itu Fajar bersiap-siap dengan bekal seadanya untuk kabur dari rumah. Belum tahu tujuannya akan kemana tapi sudah diniatkan bahwa dia tidak akan tinggal dirumah lagi. Sebuah surat dia tuliskan dan diletakkannya di atas kasur. Melalui jendela kamar Fajar pergi dengan berbekal uang tiga juta dan beberapa peralatan pribadi ditas ransel hitamnya.

“Fajar, bangun nak, sarapan dulu” Ibu mengetuk kamar Fajar yang tak ada balasan jawaban.

“Fajar, kita bicarakan baik-baik masalah tadi malam, ayo bangun sarapan dulu” Ibu semakin keras mengetuk dan memanggil Fajar.

Gagang pintu di putar dan terbuka, kamar Fajar tidak dikunci. Tidak ada siapapun di kamar semuanya rapi, hanya ada sepucuk surat di atas tempat tidur.

Ibu Fajar yang masih mencerna apa yang terjadi di kamarnya, langsung mengambil surat dan membacanya. Sedikit kaget dan seketika itu juga dirinya menangis histeris dan memanggil suami serta Ibunya.

“Ayah, Ibu, kesini” Teriak Ibu Fajar serak memanggil kedua orang yang sedang mulai menyantap sarapan di ruang keluarga.

Mereka yang kaget langsung berlari menuju arah suara yang ada di kamar Fajar.

“Ada apa bu?” tanya Ayah cemas.

Tanpa berkata-kata masih dengan tangisannya menyerahkan surat yang sudah basah dengan air mata kepada Ayah.

Kepada Ayah, Ibu, dan Nenek.

Maaf jika Fajar menjadi anak yang durhaka dan tidak menurut. Tapi Fajar juga tidak bisa langsung di hardik seperti tadi malam, jika di diskusikan baik-baik Fajar masih bisa terima. Fajar tahu sekarang sudah bukan anak kecil lagi, tapi apa yang Ibu, Ayah, dan Nenek sampaikan tadi malam, membuat Fajar bingung atas pilihan yang ingin Fajar tempuh, karena Fajar memiliki target sendiri untuk melakukan apa yang Fajar inginkan. Fajar akan pergi dari rumah untuk sementara, dan akan kembali lagi ketika Fajar sudah bisa menentukan keputusan. Maaf atas kesalahan yang ada, dan tidak perlu mencari Fajar.

Salam sayang Buat Ibu, Ayah, dan Nenek.

“Dasar anak kurang ajar, tidak tahu diuntung. Sudah di rawat malah membalas dengan cara seperti ini. Biarkan saja bu, dia yang mau seperti ini, anak durhaka” Emosi Ayah memuncak. Suaranya memenuhi isi rumah.

Ibu yang ingin menjawab tidak berani kalau Ayah sudah marah. Meskipun semalam dia sudah membentak anaknya juga, namun tetap saja hati seorang Ibu tidak bisa dibohongi.

Sudah tiga hari Fajar berjalan tidak tentu arah. Dia menginap di sebuah losmen murah di dekat stasiun kereta api. Dia mencoba mencari kerja dengan ijazahnya namun tidak ada satupun yang memberikan hasil. Uang di tangannya tinggal satu juta lima ratus, untuk biaya penginapan losmen hanya bisa satu minggu lagi paling lama.

Hari ini Fajar tidak mencari kerja, dia jalan-jalan di pinggiran toko dan bermain ke toko buku. Ketika adzan maghrib dia berhenti di sebuah masjid di dekat Rumah makan Padang. Berhenti sejenak dari kegiatan tidak jelasnya hari ini.

Setelah mengambil wudhu dan sholat maghrib berjamaah, Fajar menyandarkan tubuhnya sejenak di dinding masjid. Ternyata keputusannya untuk kabur tidak membuahkan banyak hasil, kebingungan semakin membayangi dirinya. Terbayang, apakah Ayah dan Ibu mencari dirinya atau bahkan membiarkan saja ya...

“Assalamualaikum nak”

Suara yang berat dengan salam mengagetkan lamunan Fajar.

“Eh, waalaikumsalam iya pak” Fajar hanya menoleh dan melihat wajah bapak yang terlihat segar dan cerah meskipun uban putih sudah menutupi sebagian rambut di kepalanya.

“Ada apa nak, kamu kelihatan bingung sekali?” Tanya bapak yang ternyata imam sholat tadi, dan mengambil posisi duduk di sebelah Fajar.

“Tidak pak, hanya istirahat sebentar sebelum pulang” jawab Fajar singkat dan menyunggingkan senyum kecil ingin menandakan dirinya ramah dan bersahabat.

“Oh begitu,  kamu kuliah? Atau sudah kerja”

Fajar diam sejenak tidak menjawab pertanyaan bapak. Dia bingung mencari kata jawaban yang jujur tapi tidak mengangkat apa yang sedang di alaminya.

“Nak, kok melamun?” Kali kedua teguran bapak ini mengagetkan Fajar.

“Oh, tidak pak, tidak apa-apa” Fajar kembali salah tingkah menjawabnya.

“Ada masalah dengan orangtua? Atau putus cinta? Hehe, cerita saja sama bapak, siapa tahu bisa dibantu” dengan sedikit bercanda bapak mencairkan suasana.

Fajar dengan tertunduk entah karena merasa nyaman atau apa, dia mulai menceritakan apa yang dia rasakan. Mungkin inilah yang selama ini dibutuhkannya, mencari tempat untuk bisa mendengar keluh kesah dan ceritanya. Dia memang tidak butuh solusi, namun butuh orang yang mengerti.

Meskipun bapak ini baru pertama kali bertemu, Fajar sudah merasa nyaman untuk berbicara kepadanya. Bahkan sampai airmata pelan menetes melewati pipi Fajar.

“Kamu ikut bapak kerumah yuk” Ajak bapak itu ramah.

Tanpa jawaban Fajar hanya mengikuti bapak tersebut.

Sesampainya dirumah itu, Fajar hanya diam saja. Bapak itu yang tinggal sendiri tanpa anak dan istri membuat Fajar heran. Meski tidak mewah, namun rumah ini rasanya terlalu besar untuk ditinggali ssendiri. Ketika masuk ke ruang tamu, Fajar melihat foto dua gadis yang saling berangkulan.

“Itu Istri dan anak bapak di hari sebelum mereka meninggal” Bapak itu seakan menjawab pertanyaan di dalam hati Fajar.

Fajar tidak ingin bertanya lebih jauh, takut akan menyinggung perasaan sang Bapak.

Fajar di bawa ke sebuah ruangan yang tidak terlalu besar, ruangan yang hanya cukup untuk tiga orang duduk. Menunjukkan sebuah map dan berkas kepada Fajar.

“Nak Fajar, ini bapak mendapatkannya dua bulan lalu tepat sebelum anak dan istri bapak meninggal karena kecelakaan. Seharusnya ini digunakan untuk anak bapak melanjutkan pendidikan sekaligus kuliah di Jerman, nah bapak lihat kamu anak yang cukup baik, ini bapak serahkan untuk kamu, dan besok kamu datang kesini bawa semua barang dan Bapak akan mengantar kamu ke kedutaan untuk persiapan berangkat.” Dengan suara meyakinkan sang Bapak memberikan map itu dan menyuruh Fajar untuk bisa mengambilnya.

“Tapi bapak baru mengenal saya hari ini, dan lagi saya tidak sebaik yang bapak pikirkan” Fajar merasa hal ini terlalu wah untuknya, kuliah dan pekerjaan, ini yang diinginkan keluarganya.

“Tidak apa-apa nak, ambillah. Bapak yakin kamu akan menggunakannya sebaik mungkin” Suara bapak yang sedikit serak meyakinkan Fajar.

Tanpa jawaban, Fajar menerima map dan berkas dari bapak itu.

Besoknya, Fajar mengurus keberangkatan dan semua persiapan yang dia perlukan untuk berangkat ke Jerman. Statusnya sebagai TKI, namun ketika disana sudah ada yang akan menjemput dirinya untuk kuliah di Jerman, sekaligus majikannya untuk bekerja nanti.

Malamnya Fajar berangkat menaiki pesawat menuju Jerman, dan dia menitipkan surat kepada keluarganya melalui Bapak yang telah memberikannya jalan untuk bisa menempuh dua hal sekaligus yang selama ini tidak pernah terbayangkan olehnya.

*****

Ibu masih memikirkan Fajar, tubuhnya makin lemas dan kurus karena jarang makan. Dia hanya duduk di ruang tamu menatapi layar televisi dengan pandangan kosong.

“Assalamualaikum” Ketukan pintu terdengar dari luar.

Ibu Fajar langsung menghampiri dan membuka pintu berharap itu Fajar. Ketika dibuka yang ada hanyalah seorang bapak yang nampak tua. Tanpa berkata banyak bapak itu hanya menyerahkan sepucuk surat lalu langsung pergi. Ibu Fajarpun tak sempat mengucapkan satu patah katapun kepada bapak itu.

Masih dengan berdiri di depan pintu, Ibu membaca surat yang diberikan sang Bapak tadi.

Assalamualaikum semuanya, apa Ibu, Ayah dan Nenek sehat?

Ketika menerima surat ini berarti Fajar sudah tidak di Indonesia lagi. Sekarang Fajar sudah di Jerman kerja sebagai TKI, sekaligus di kuliahkan disana. Kebingungan Fajar dan keputusan keluarga sudah terjawab dengan ini. Dua hal yang Fajar dan keluarga inginkan terkabul dalam satu waktu. Tentu hal ini juga membanggakan untuk Ayah, Ibu, dan Nenek kan? Maafkan atas sikap Fajar yang tidak berkenan, semoga semua baik-baik saja, dan doakan Fajar disini. Tidak ada yang bisa banyak Fajar berikan, semoga dengan ini menutup dan melegakan keluarga kita.

Salam Sayang, Fajar

Ibu hanya menatap lama surat itu, sebuah senyum kecil dan perasaan senang menggelayut di hatinya. Surat itupun disimpannya baik-baik, tanpa memberitahu Ayah dan Nenek Fajar. Ibu kembali duduk di ruang tamu menghadap televisi, namun kali ini dengan tatapan penuh arti dan senyum tenang yang membahagiakan.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;