“Kamu
harus kuliah dulu, baru menikah Fajar!!!” Aku hanya diam mendengar perkataan Ibu.
Ayah,
Ibu, dan Nenek di depanku terus menyuruh untuk memilih. Sebenarnya aku ingin
bekerja setelah tiga bulan kelulusan dipendidikan S1 hukum ini. Namun ada
seorang teman yang juga menawarkan perempuan muslimah yang siap untuk menikah.
Saat
kuutarakan keinginan ini keluarga malah marah besar dan tidak setuju. Aku tahu
hal ini belum pasti, namun jika baru mengatakan pendapat saja sudah seperti
ini, akupun ragu dan bingung untuk memenuhi keinginan mereka. Padahal jika
berkata baik-baik aku pun akan mau mendengarkan dan memahami mereka.
“Jangan
diam saja, kamu ini tidak tahu untung, mau jadi anak durhaka ya?” Kali ini
lengkingan suara Ayah yang menggema.
Aku
tidak tahu harus menjawab apa. Keluarga yang memang dari keturunan terpandang
mengedepankan kualitas pendidikan adalah nomor satu, dari dulu selalu begitu. Nenek
dan kakekpun semuanya mengenyam pendidikan sampai S2, Ayah bahkan sampai S3.
Aku tidak tahu apa yang membuatnya sampai gila pendidikan.
“Fajar
capek ingin tidur dulu” Tanpa menoleh lagi langsung kulangkahkan kaki ke kamar.
Terdengar
omelan-omelan yang saling mengiringi dari Ibu, Ayah, dan Nenek. Aku pun tidak
langsung tidur. Hal ini sudah menjadi sesak di dalam hati. Semakin mendengarkan
mereka semakin kebingungan menghinggapi. Aku harus keluar dari rumah ini.
Malam
itu Fajar bersiap-siap dengan bekal seadanya untuk kabur dari rumah. Belum tahu
tujuannya akan kemana tapi sudah diniatkan bahwa dia tidak akan tinggal dirumah
lagi. Sebuah surat dia tuliskan dan diletakkannya di atas kasur. Melalui
jendela kamar Fajar pergi dengan berbekal uang tiga juta dan beberapa peralatan
pribadi ditas ransel hitamnya.
“Fajar,
bangun nak, sarapan dulu” Ibu mengetuk kamar Fajar yang tak ada balasan
jawaban.
“Fajar,
kita bicarakan baik-baik masalah tadi malam, ayo bangun sarapan dulu” Ibu
semakin keras mengetuk dan memanggil Fajar.
Gagang
pintu di putar dan terbuka, kamar Fajar tidak dikunci. Tidak ada siapapun di
kamar semuanya rapi, hanya ada sepucuk surat di atas tempat tidur.
Ibu
Fajar yang masih mencerna apa yang terjadi di kamarnya, langsung mengambil
surat dan membacanya. Sedikit kaget dan seketika itu juga dirinya menangis
histeris dan memanggil suami serta Ibunya.
“Ayah,
Ibu, kesini” Teriak Ibu Fajar serak memanggil kedua orang yang sedang mulai
menyantap sarapan di ruang keluarga.
Mereka
yang kaget langsung berlari menuju arah suara yang ada di kamar Fajar.
“Ada
apa bu?” tanya Ayah cemas.
Tanpa
berkata-kata masih dengan tangisannya menyerahkan surat yang sudah basah dengan
air mata kepada Ayah.
Kepada Ayah, Ibu, dan Nenek.
Maaf jika Fajar menjadi anak yang
durhaka dan tidak menurut. Tapi Fajar juga tidak bisa langsung di hardik
seperti tadi malam, jika di diskusikan baik-baik Fajar masih bisa terima. Fajar
tahu sekarang sudah bukan anak kecil lagi, tapi apa yang Ibu, Ayah, dan Nenek sampaikan
tadi malam, membuat Fajar bingung atas pilihan yang ingin Fajar tempuh, karena Fajar
memiliki target sendiri untuk melakukan apa yang Fajar inginkan. Fajar akan
pergi dari rumah untuk sementara, dan akan kembali lagi ketika Fajar sudah bisa
menentukan keputusan. Maaf atas kesalahan yang ada, dan tidak perlu mencari Fajar.
Salam sayang Buat Ibu, Ayah, dan Nenek.
“Dasar
anak kurang ajar, tidak tahu diuntung. Sudah di rawat malah membalas dengan
cara seperti ini. Biarkan saja bu, dia yang mau seperti ini, anak durhaka”
Emosi Ayah memuncak. Suaranya memenuhi isi rumah.
Ibu
yang ingin menjawab tidak berani kalau Ayah sudah marah. Meskipun semalam dia
sudah membentak anaknya juga, namun tetap saja hati seorang Ibu tidak bisa
dibohongi.
Sudah
tiga hari Fajar berjalan tidak tentu arah. Dia menginap di sebuah losmen murah
di dekat stasiun kereta api. Dia mencoba mencari kerja dengan ijazahnya namun
tidak ada satupun yang memberikan hasil. Uang di tangannya tinggal satu juta
lima ratus, untuk biaya penginapan losmen hanya bisa satu minggu lagi paling
lama.
Hari
ini Fajar tidak mencari kerja, dia jalan-jalan di pinggiran toko dan bermain ke
toko buku. Ketika adzan maghrib dia berhenti di sebuah masjid di dekat Rumah
makan Padang. Berhenti sejenak dari kegiatan tidak jelasnya hari ini.
Setelah
mengambil wudhu dan sholat maghrib berjamaah, Fajar menyandarkan tubuhnya
sejenak di dinding masjid. Ternyata keputusannya untuk kabur tidak membuahkan
banyak hasil, kebingungan semakin membayangi dirinya. Terbayang, apakah Ayah
dan Ibu mencari dirinya atau bahkan membiarkan saja ya...
“Assalamualaikum
nak”
Suara
yang berat dengan salam mengagetkan lamunan Fajar.
“Eh,
waalaikumsalam iya pak” Fajar hanya menoleh dan melihat wajah bapak yang
terlihat segar dan cerah meskipun uban putih sudah menutupi sebagian rambut di
kepalanya.
“Ada
apa nak, kamu kelihatan bingung sekali?” Tanya bapak yang ternyata imam sholat
tadi, dan mengambil posisi duduk di sebelah Fajar.
“Tidak
pak, hanya istirahat sebentar sebelum pulang” jawab Fajar singkat dan
menyunggingkan senyum kecil ingin menandakan dirinya ramah dan bersahabat.
“Oh
begitu, kamu kuliah? Atau sudah kerja”
Fajar
diam sejenak tidak menjawab pertanyaan bapak. Dia bingung mencari kata jawaban
yang jujur tapi tidak mengangkat apa yang sedang di alaminya.
“Nak,
kok melamun?” Kali kedua teguran bapak ini mengagetkan Fajar.
“Oh,
tidak pak, tidak apa-apa” Fajar kembali salah tingkah menjawabnya.
“Ada
masalah dengan orangtua? Atau putus cinta? Hehe, cerita saja sama bapak, siapa
tahu bisa dibantu” dengan sedikit bercanda bapak mencairkan suasana.
Fajar
dengan tertunduk entah karena merasa nyaman atau apa, dia mulai menceritakan
apa yang dia rasakan. Mungkin inilah yang selama ini dibutuhkannya, mencari
tempat untuk bisa mendengar keluh kesah dan ceritanya. Dia memang tidak butuh
solusi, namun butuh orang yang mengerti.
Meskipun
bapak ini baru pertama kali bertemu, Fajar sudah merasa nyaman untuk berbicara
kepadanya. Bahkan sampai airmata pelan menetes melewati pipi Fajar.
“Kamu
ikut bapak kerumah yuk” Ajak bapak itu ramah.
Tanpa
jawaban Fajar hanya mengikuti bapak tersebut.
Sesampainya
dirumah itu, Fajar hanya diam saja. Bapak itu yang tinggal sendiri tanpa anak dan
istri membuat Fajar heran. Meski tidak mewah, namun rumah ini rasanya terlalu
besar untuk ditinggali ssendiri. Ketika masuk ke ruang tamu, Fajar melihat foto
dua gadis yang saling berangkulan.
“Itu
Istri dan anak bapak di hari sebelum mereka meninggal” Bapak itu seakan
menjawab pertanyaan di dalam hati Fajar.
Fajar
tidak ingin bertanya lebih jauh, takut akan menyinggung perasaan sang Bapak.
Fajar
di bawa ke sebuah ruangan yang tidak terlalu besar, ruangan yang hanya cukup
untuk tiga orang duduk. Menunjukkan sebuah map dan berkas kepada Fajar.
“Nak
Fajar, ini bapak mendapatkannya dua bulan lalu tepat sebelum anak dan istri
bapak meninggal karena kecelakaan. Seharusnya ini digunakan untuk anak bapak
melanjutkan pendidikan sekaligus kuliah di Jerman, nah bapak lihat kamu anak
yang cukup baik, ini bapak serahkan untuk kamu, dan besok kamu datang kesini
bawa semua barang dan Bapak akan mengantar kamu ke kedutaan untuk persiapan
berangkat.” Dengan suara meyakinkan sang Bapak memberikan map itu dan menyuruh Fajar
untuk bisa mengambilnya.
“Tapi
bapak baru mengenal saya hari ini, dan lagi saya tidak sebaik yang bapak
pikirkan” Fajar merasa hal ini terlalu wah untuknya, kuliah dan pekerjaan, ini
yang diinginkan keluarganya.
“Tidak
apa-apa nak, ambillah. Bapak yakin kamu akan menggunakannya sebaik mungkin”
Suara bapak yang sedikit serak meyakinkan Fajar.
Tanpa
jawaban, Fajar menerima map dan berkas dari bapak itu.
Besoknya,
Fajar mengurus keberangkatan dan semua persiapan yang dia perlukan untuk
berangkat ke Jerman. Statusnya sebagai TKI, namun ketika disana sudah ada yang
akan menjemput dirinya untuk kuliah di Jerman, sekaligus majikannya untuk
bekerja nanti.
Malamnya
Fajar berangkat menaiki pesawat menuju Jerman, dan dia menitipkan surat kepada
keluarganya melalui Bapak yang telah memberikannya jalan untuk bisa menempuh
dua hal sekaligus yang selama ini tidak pernah terbayangkan olehnya.
*****
Ibu
masih memikirkan Fajar, tubuhnya makin lemas dan kurus karena jarang makan. Dia
hanya duduk di ruang tamu menatapi layar televisi dengan pandangan kosong.
“Assalamualaikum”
Ketukan pintu terdengar dari luar.
Ibu
Fajar langsung menghampiri dan membuka pintu berharap itu Fajar. Ketika dibuka
yang ada hanyalah seorang bapak yang nampak tua. Tanpa berkata banyak bapak itu
hanya menyerahkan sepucuk surat lalu langsung pergi. Ibu Fajarpun tak sempat
mengucapkan satu patah katapun kepada bapak itu.
Masih
dengan berdiri di depan pintu, Ibu membaca surat yang diberikan sang Bapak
tadi.
Assalamualaikum semuanya, apa Ibu, Ayah
dan Nenek sehat?
Ketika menerima surat ini berarti Fajar
sudah tidak di Indonesia lagi. Sekarang Fajar sudah di Jerman kerja sebagai
TKI, sekaligus di kuliahkan disana. Kebingungan Fajar dan keputusan keluarga
sudah terjawab dengan ini. Dua hal yang Fajar dan keluarga inginkan terkabul
dalam satu waktu. Tentu hal ini juga membanggakan untuk Ayah, Ibu, dan Nenek
kan? Maafkan atas sikap Fajar yang tidak berkenan, semoga semua baik-baik saja,
dan doakan Fajar disini. Tidak ada yang bisa banyak Fajar berikan, semoga
dengan ini menutup dan melegakan keluarga kita.
Salam Sayang, Fajar
Ibu
hanya menatap lama surat itu, sebuah senyum kecil dan perasaan senang
menggelayut di hatinya. Surat itupun disimpannya baik-baik, tanpa memberitahu
Ayah dan Nenek Fajar. Ibu kembali duduk di ruang tamu menghadap televisi, namun
kali ini dengan tatapan penuh arti dan senyum tenang yang membahagiakan.
0 komentar:
Posting Komentar