Sabtu, 05 November 2016

Penjemputan Hidayah Tyas



Penjemputan Hidayah Tyas
Tamparan keras mendarat di pipi kiriku.

“Kamu bodoh, mbak sudah peringatkan berapa kali untuk tidak mendekati laki-laki itu. Abah dan Mak sudah tidak ada, mau jadi apa kamu. Kita memang miskin, tapi harga diri kita tidak boleh ikut menjadi miskin” Panjang mbak Sarah menceramahiku.

Aku berlalu meninggalkan ceramahnya dan langsung memasuki kamar. Aku menangis, entah dada ini sesak. Janji tinggal janji sekarang aku pun direnggutnya.

Dua bulan lalu aku bertemu dengan seorang laki-laki. Perawakannya nampak bagus, tinggi, hidungnya sedikit mancung dan murah senyum, ditambah memiliki lesung pipi dan tahi lalat kecil di dagunya.

“Aku mencintaimu, maukah menjadi istriku?”

Ucapan itu terlontar dari mulutnya setelah sebulan kami saling kenal. Aku hanya terdiam membisu, ingin menjawab iya namun masih ragu. Kuputuskan untuk meminta waktu dan mendiskusikannya kepada mbak Sarah.

Mbak Sarah tidak setuju, karena menurutnya laki-laki yang baik tidak akan langsung seperti itu, pasti ada maunya. Aku membantahnya. Hanya karena sekarang dia menjadi seorang yang aktif dalam pengajian bukan berarti dia tahu segalanya. Aku sudah 22 tahun sekarang, aku yakin itu sudah cukup dewasa bagiku untuk memilih, dan lagi kami hanya hidup berdua, siapa tahu dengan menikah sedikit merubah kehidupan kami.

“Aku mau, tapi orang tuaku sudah tiada bagaimana untuk walinya?” jawabku ketika memberikan respon ajakannya tempo hari.

“Itu gampang, nanti kita pake wali KUA” jawab laki-laki itu santai.

Aku hanya mengangguk dan mengiyakan.

Hari demi hari aku dan laki-laki itu semakin dekat. Kami semakin yakin akan hubungan kami ke jenjang pernikahan. Hingga suatu malam, permintaan tak terduga itu membuat aku kaget.

“Sayang, malam ini nginap berdua saja ya dirumahku. Tidak ada siapa-siapa, jadi temani aku ya” Pinta laki-laki itu dengan lembut.

Merasa tidak tega, aku berniat menemaninya, toh sebentar lagi kami juga akan menikah, ku pikir tidak masalah menemaninya dirumah untuk semalam.

“Baiklah, hanya untuk semalam ya. Besok pagi antarkan aku pulang” jawabku dengan senyum.

“Oke sayang, terimakasih ya, kamu memang ngerti” balasnya dengan senyum manisnya ditambah lesung pipinya, dan ah... dia mengusap kepalaku. Aku hanya menunduk dan mukaku memerah.

Pagi-pagi aku terbangun. Aku melihat sekitar, kaget karena sekarang berada di sebuah kamar. Seingatku semalam tidur di sofa ruang tamu, tidak mungkin pindah dengan sendirinya di kamar ini. Aku mulai cemas, dan MasyaAllah, aku tidak mengenakan apapun, pakaian berada di sebelah tempat tidur.

Dari luar aku mendengar suara laki-laki lebih dari satu.

“Haha, kamu memang bagus memilih orang. lain kali cari yang lebih ya” Salah seorang berteriak dan berbicara seperti itu, disambung dengan yang lain.

Aku terdiam, jantung berdetak tidak karuan. Pikiran mulai bercabang kemana-mana, ah ya Allah jangan-jangan...

Aku harus kabur dari sini, persetan dengan laki-laki itu. Berjalan pelan lewat jalan belakang, melompati jendela, dan  langsung lari ke rumah.

Sekarang perhiasanku sudah hilang, perhiasan yang seharusnya dijaga dengan ketat sekarang sudah sirna semuanya. Mbak pasti marah, apa katanya dirumah nanti. Bodoh aku memang bodoh.
*****

“Tyas bangun, mbak mau kamu ikut sekarang kita akan pindah” mbak Sarah membangunkan tidur yang masih hanyut kunikmati setelah kejadian semalam.

Mataku masih berat, aku masih teringat kejadian semalam. Seharusnya menuruti perkataan mbak Sarah dari dulu. Semuanya sudah berlalu sekarang, aku hanya ikut apa katanya saja.

Sepanjang perjalanan aku hanya diam, tidak berani mengatakan sepatah katapun. Mbak Sarah pandangannya hanya kedepan, terlihat tidak peduli namun matanya berkaca-kaca.

“Mbak, mbak Sarah, Tyas minta maaf. Tyas salah, semuanya.., maaf ya mbak, mbak ngomong mbak” aku memohon sambil merengek kepada mbak Sarah agar mau mengobrol kepadaku.

Tak ada jawaban, mbak Sarah hanya melihatku sebentar dengan raut kecewanya, lalu kembali menatap kedepan jalan.

Aku kembali terdiam dan merenungi diri sendiri.
*****

“Tyas mbak pergi sekarang, kamu sudah memilih jalan sendiri, mbak sudah tidak perlu lagi mengurus kamu. Maaf  jika mbak punya banyak salah ya, Assalamualaikum” Mbak Sarah tiba-tiba pergi, dia semakin menjauh berjalan menuju cahaya putih semakin lama semakin hilang

“Mbak jangan tinggalin Tyas, Tyas masih butuh mbak, jangan tinggalin, mbak..mbak...”

Aku langsung terbangun kaget, ternyata yang barusan mimpi. Keringat membasahi baju dan jilbabku. Aku bingung, dan ah... Mbak Sarah masih berada di sampingku.

Maafkan adikmu yang bodoh ini mbak. Gumamku dalam hati dan air mata mengalir deras. Aku tidak mau kehilangan Mbak Sarah, Aku berjanji akan menjadi adik yang menurut mulai saat ini.

Dua jam perjalanan kami sampai di sebuah tempat. Sebuah pondok cukup besar, mirip dengan masjid tapi bukan masjid. Banyak anak-anak kecil yang sedang mengaji, beberapa orang dewasa juga melakukan aktivitas lainnya. Aku sedikit merasakan kedamaian disini, tapi aku yang sudah seperti sampah ini apa pantas berada disini.

Dengan kodenya Mbak Sarah mengajakku ke dalam. Entah mungkin apa karena masih marah sehingga masih enggan mengucap sapatah katapun. Wajar saja, aku sudah bukan adiknya yang lengkap lagi.

Mbak Sarah berbincang kepada dua orang di dekat pintu masuk pondok. Aku disuruh menunggu agak jauh. Entah apa yang dibicarakan, sepertinya cukup serius. Aku sudah tidak peduli lagi. Apapun yang Mbak Sarah lakukan terima saja, apa untungnya punya adik sepertiku, tidak bisa nurut dan melakukan hal yang tidak pantas.

“Tyas, sini” panggil Mbak Sarah pendek,

Aku hanya mengangguk dan menurutinya. Aku dikenalkan dengan dua orang yang dari tadi berbincang dengan mbak Sarah.

“Mbak Vera, Mas Teguh, ini adik yang saya ceritakan tadi, Tyas Ayu Ningsih namanya”

“Assalamualaikum...” aku memberi salam dengan suara yang sedikit tercekat

“Waalaikumsalam dik” jawab Mbak Vera lembut sambil tersenyum kearahku.

Mbak Vera mengajakku berkeliling dan menjelaskan semua hal. Jadi mulai sekarang kami akan tinggal disini membantu mengurusi pondok, dan tentunya supaya aku tidak terkontaminasi dengan lingkungan luar.
*****

Aku membuka diary lima tahun lalu. Karena kejadian itu yang menyadarkanku sekarang.

Aku sudah benar-benar menikah dengan seorang laki-laki keturunan Arab, bahkan sekarang menggunakan cadar dan tinggal dimesir. Sekarang aku mengolah konseling remaja di pusat rehabilitasi Mesir. Ada yang karena obat-obatan ada juga yang sepertiku. Aku memberikan semangat hidup kepada mereka.

Meskipun dengan kejadian yang sangat tidak pantas itu, semua itu menjadi tahapan hidayah bagiku. Setiap malam air mata tangisan mengalir dalam tahajud untuk terus memohon ampun atas kejadian tersebut. Dan malam ini entah kenapa terasa begitu sejuk tahajud yang dilakukan. Aku melihat cahaya yang begitu terang, dan ada dua orang yang seperti mengajakku mengikuti mereka. Dalam sekejap aku memasuki cahaya itu dan aku berhenti di sebuah taman melepas semua beban.

“Assalamualaikum Tyas, sekarang kamu sudah bebas dari semua beban, ikut kami dan tersenyumlah” Seorang dari dua orang yang mengajakku menarik ke sebuah tempat, dan semuanya menjadi gelap.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;