Penjemputan Hidayah Tyas
Tamparan
keras mendarat di pipi kiriku.
“Kamu
bodoh, mbak sudah peringatkan berapa kali untuk tidak mendekati laki-laki itu.
Abah dan Mak sudah tidak ada, mau jadi apa kamu. Kita memang miskin, tapi harga
diri kita tidak boleh ikut menjadi miskin” Panjang mbak Sarah menceramahiku.
Aku
berlalu meninggalkan ceramahnya dan langsung memasuki kamar. Aku menangis,
entah dada ini sesak. Janji tinggal janji sekarang aku pun direnggutnya.
Dua
bulan lalu aku bertemu dengan seorang laki-laki. Perawakannya nampak bagus,
tinggi, hidungnya sedikit mancung dan murah senyum, ditambah memiliki lesung
pipi dan tahi lalat kecil di dagunya.
“Aku
mencintaimu, maukah menjadi istriku?”
Ucapan
itu terlontar dari mulutnya setelah sebulan kami saling kenal. Aku hanya
terdiam membisu, ingin menjawab iya namun masih ragu. Kuputuskan untuk meminta
waktu dan mendiskusikannya kepada mbak Sarah.
Mbak
Sarah tidak setuju, karena menurutnya laki-laki yang baik tidak akan langsung seperti
itu, pasti ada maunya. Aku membantahnya. Hanya karena sekarang dia menjadi seorang
yang aktif dalam pengajian bukan berarti dia tahu segalanya. Aku sudah 22 tahun
sekarang, aku yakin itu sudah cukup dewasa bagiku untuk memilih, dan lagi kami
hanya hidup berdua, siapa tahu dengan menikah sedikit merubah kehidupan kami.
“Aku
mau, tapi orang tuaku sudah tiada bagaimana untuk walinya?” jawabku ketika
memberikan respon ajakannya tempo hari.
“Itu
gampang, nanti kita pake wali KUA” jawab laki-laki itu santai.
Aku
hanya mengangguk dan mengiyakan.
Hari
demi hari aku dan laki-laki itu semakin dekat. Kami semakin yakin akan hubungan
kami ke jenjang pernikahan. Hingga suatu malam, permintaan tak terduga itu
membuat aku kaget.
“Sayang,
malam ini nginap berdua saja ya dirumahku. Tidak ada siapa-siapa, jadi temani
aku ya” Pinta laki-laki itu dengan lembut.
Merasa
tidak tega, aku berniat menemaninya, toh sebentar lagi kami juga akan menikah,
ku pikir tidak masalah menemaninya dirumah untuk semalam.
“Baiklah,
hanya untuk semalam ya. Besok pagi antarkan aku pulang” jawabku dengan senyum.
“Oke
sayang, terimakasih ya, kamu memang ngerti” balasnya dengan senyum manisnya
ditambah lesung pipinya, dan ah... dia mengusap kepalaku. Aku hanya menunduk
dan mukaku memerah.
Pagi-pagi
aku terbangun. Aku melihat sekitar, kaget karena sekarang berada di sebuah
kamar. Seingatku semalam tidur di sofa ruang tamu, tidak mungkin pindah dengan
sendirinya di kamar ini. Aku mulai cemas, dan MasyaAllah, aku tidak mengenakan
apapun, pakaian berada di sebelah tempat tidur.
Dari
luar aku mendengar suara laki-laki lebih dari satu.
“Haha,
kamu memang bagus memilih orang. lain kali cari yang lebih ya” Salah seorang
berteriak dan berbicara seperti itu, disambung dengan yang lain.
Aku
terdiam, jantung berdetak tidak karuan. Pikiran mulai bercabang kemana-mana, ah
ya Allah jangan-jangan...
Aku
harus kabur dari sini, persetan dengan laki-laki itu. Berjalan pelan lewat
jalan belakang, melompati jendela, dan langsung lari ke rumah.
Sekarang
perhiasanku sudah hilang, perhiasan
yang seharusnya dijaga dengan ketat sekarang sudah sirna semuanya. Mbak pasti
marah, apa katanya dirumah nanti. Bodoh aku memang bodoh.
*****
“Tyas
bangun, mbak mau kamu ikut sekarang kita akan pindah” mbak Sarah membangunkan
tidur yang masih hanyut kunikmati setelah kejadian semalam.
Mataku
masih berat, aku masih teringat kejadian semalam. Seharusnya menuruti perkataan
mbak Sarah dari dulu. Semuanya sudah berlalu sekarang, aku hanya ikut apa
katanya saja.
Sepanjang
perjalanan aku hanya diam, tidak berani mengatakan sepatah katapun. Mbak Sarah
pandangannya hanya kedepan, terlihat tidak peduli namun matanya berkaca-kaca.
“Mbak,
mbak Sarah, Tyas minta maaf. Tyas salah, semuanya.., maaf ya mbak, mbak ngomong
mbak” aku memohon sambil merengek kepada mbak Sarah agar mau mengobrol
kepadaku.
Tak
ada jawaban, mbak Sarah hanya melihatku sebentar dengan raut kecewanya, lalu
kembali menatap kedepan jalan.
Aku
kembali terdiam dan merenungi diri sendiri.
*****
“Tyas
mbak pergi sekarang, kamu sudah memilih jalan sendiri, mbak sudah tidak perlu
lagi mengurus kamu. Maaf jika mbak punya
banyak salah ya, Assalamualaikum” Mbak Sarah tiba-tiba pergi, dia semakin
menjauh berjalan menuju cahaya putih semakin lama semakin hilang
“Mbak
jangan tinggalin Tyas, Tyas masih butuh mbak, jangan tinggalin, mbak..mbak...”
Aku
langsung terbangun kaget, ternyata yang barusan mimpi. Keringat membasahi baju
dan jilbabku. Aku bingung, dan ah... Mbak Sarah masih berada di sampingku.
Maafkan adikmu yang
bodoh ini mbak. Gumamku dalam hati dan air mata
mengalir deras. Aku tidak mau kehilangan Mbak Sarah, Aku berjanji akan menjadi
adik yang menurut mulai saat ini.
Dua
jam perjalanan kami sampai di sebuah tempat. Sebuah pondok cukup besar, mirip
dengan masjid tapi bukan masjid. Banyak anak-anak kecil yang sedang mengaji,
beberapa orang dewasa juga melakukan aktivitas lainnya. Aku sedikit merasakan
kedamaian disini, tapi aku yang sudah seperti sampah ini apa pantas berada
disini.
Dengan
kodenya Mbak Sarah mengajakku ke dalam. Entah mungkin apa karena masih marah sehingga
masih enggan mengucap sapatah katapun. Wajar saja, aku sudah bukan adiknya yang
lengkap lagi.
Mbak
Sarah berbincang kepada dua orang di dekat pintu masuk pondok. Aku disuruh
menunggu agak jauh. Entah apa yang dibicarakan, sepertinya cukup serius. Aku
sudah tidak peduli lagi. Apapun yang Mbak Sarah lakukan terima saja, apa
untungnya punya adik sepertiku, tidak bisa nurut dan melakukan hal yang tidak
pantas.
“Tyas,
sini” panggil Mbak Sarah pendek,
Aku
hanya mengangguk dan menurutinya. Aku dikenalkan dengan dua orang yang dari tadi
berbincang dengan mbak Sarah.
“Mbak
Vera, Mas Teguh, ini adik yang saya ceritakan tadi, Tyas Ayu Ningsih namanya”
“Assalamualaikum...”
aku memberi salam dengan suara yang sedikit tercekat
“Waalaikumsalam
dik” jawab Mbak Vera lembut sambil tersenyum kearahku.
Mbak
Vera mengajakku berkeliling dan menjelaskan semua hal. Jadi mulai sekarang kami
akan tinggal disini membantu mengurusi pondok, dan tentunya supaya aku tidak
terkontaminasi dengan lingkungan luar.
*****
Aku
membuka diary lima tahun lalu. Karena kejadian itu yang menyadarkanku sekarang.
Aku
sudah benar-benar menikah dengan seorang laki-laki keturunan Arab, bahkan
sekarang menggunakan cadar dan tinggal dimesir. Sekarang aku mengolah konseling
remaja di pusat rehabilitasi Mesir. Ada yang karena obat-obatan ada juga yang
sepertiku. Aku memberikan semangat hidup kepada mereka.
Meskipun
dengan kejadian yang sangat tidak pantas itu, semua itu menjadi tahapan hidayah
bagiku. Setiap malam air mata tangisan mengalir dalam tahajud untuk terus
memohon ampun atas kejadian tersebut. Dan malam ini entah kenapa terasa begitu
sejuk tahajud yang dilakukan. Aku melihat cahaya yang begitu terang, dan ada
dua orang yang seperti mengajakku mengikuti mereka. Dalam sekejap aku memasuki
cahaya itu dan aku berhenti di sebuah taman melepas semua beban.
“Assalamualaikum
Tyas, sekarang kamu sudah bebas dari semua beban, ikut kami dan tersenyumlah”
Seorang dari dua orang yang mengajakku menarik ke sebuah tempat, dan semuanya
menjadi gelap.
0 komentar:
Posting Komentar