Sudah
seberapa jauh merasa diri lebih baik dari orang lain? Sudah sampai mana ilmu
yang ditempuh sehingga bisa melakukan semua kebaikan dari orang lain?
Mungkin
kita adalah anak pondok yang sudah tujuh tahun belajar agama, mungkin kita
seorang pelatih yang sudah melatih lebih dari sepuluh tim selama beberapa
musim, mungkin kita adalah seorang pembelajar yang sudah mendapatkan lebih dari
lima belas gelar dalam kurang dari sepuluh tahun, ataupun seseorang yang
mendapatkan banyak gelar sertifikasi pelatihan dari berbagai bidang.
Sekali
lagi mari merenungi dan melihat kilas balik diri kita. Apakah dengan semua
pencapaian yang sudah diraih itu, sudah menjadikan diri kita terbaik diantara
yang lain?
Apakah
dalam setiap nafas dan pencapaian serta kemampuan yang dimiliki sudah menjadi
kebermanfaatan bagi yang lain? Atau hanyalah menjadi penambah keburukan dan
kejelekan disekitar kita?
Baru
saja kemaren bertemu dengan seorang teman yang memang sedang menjalani proses
hijrahnya. Mencari ilmu kesana kemari sampai menemukan yang pas di hati.
Sungguh delima dimana ternyata beberapa tempat yang ditemukannya hanya
menjadikan dirinya semakin galau untuk menentukan pilihan hidup.
Mencari
jalan yang benar-benar baik tidak semudah yang tampak.
Ketika
mengikuti majelis ilmu disini mendapat sebuah hal yang tidak sinkron di hati.
Ketika mencoba berpindah ke tempat majelis ilmu yang lain, dikatakan apa yang
diikutinya tidak sejalan atau tidak sesuai dengan seharusnya. Entah darimana
penilaian itu berasal.
Inilah
yang akan menampakkan diri kita sebenarnya seperti apa.
Kita
yang baru belajar sibuk memvonis yang lain. Plis deh, kita sama-sama belajar.
Salah itu dibenarkan dengan cara yang benar. Lagi-lagi saya mengulang satu
kalimat yang pernah terbaca. “Pada zaman Rasulullah dulu beliau sibuk
mengislamkan orang kafir, nah sekarang kita sibuk mengkafirkan orang islam”
Terlepas
benar tidaknya hal ini, apakah terjadi atupun hanya sekedar informasi yang tak
ada bukti. Tapi kita secara tidak sadar sudah mengelompokkan setiap orang dalam
pandangan yang juga berbeda.
Jika
seorang preman yang sedang mencari jalan untuk berubah dan bertanya seperti
ini, “Bagaimana jika orang yang melakukan sholat tapi bertato?”
Apakah
jawaban terbaik yang akan kamu berikan? Jika kamu mengatakan itu haram tidak
boleh, berdosa besar, dan sebagainya yang menunjukkan hal yang kurang berkenan,
kira-kira bagaimana respon preman ini? Akankah mendengarkan atau tersinggung?
Jika
dikatakan seperti ini, “Wah bagus itu, mantap. Malah lebih aneh kalau tidak
bertato, juga tidak sholat kan?”
Mereka akan
merasa lebih dihargai. Nantinya inshaAllah dengan hidayah Allah, sendirinya
akan menyadari salah dan benarnya apa yang dilakukan. Tentang tatopun mereka
sendiri yang akan menghapusnya tanpa perlu kita mengancam dengan hukuman dan
peringatan keras lainnya.
Lha kita?
Jangankan mau mengajak orang untuk berbuat baik dan mengikuti jalan kebaikan. Teman
sendiri yang berubah sedikit aja langsung mengatakan bukan kelompok kita.
Subhanallah, padahal kita masih sesama islam dan muslim.
Tentu tidak
asing lagi bagaimana menasehati dengan hikmah itu penting.
Ingatlah,
kesalahan bukan untuk dipermalukan, tapi dinasehati dengan hati yang tenang. Keburukan
bukan untuk diumbar kesemua orang, namun di selesaikan secara personal dan
perlahan. Tidak akan ada sebuah kebaikan hati jika dilakukan dengan
penyelesaian emosi. Dan mungkin karena hal yang kecil inilah derajat kita di
pandanganNya jauh lebih buruk daripada orang yang sepertinya kita anggap bburuk.
Wallahu’alam
bishshowab
Salam
kebaikan.
0 komentar:
Posting Komentar