Rabu, 03 Mei 2017

Merekapun lebih baik dari kita



Sudah seberapa jauh merasa diri lebih baik dari orang lain? Sudah sampai mana ilmu yang ditempuh sehingga bisa melakukan semua kebaikan dari orang lain?

Mungkin kita adalah anak pondok yang sudah tujuh tahun belajar agama, mungkin kita seorang pelatih yang sudah melatih lebih dari sepuluh tim selama beberapa musim, mungkin kita adalah seorang pembelajar yang sudah mendapatkan lebih dari lima belas gelar dalam kurang dari sepuluh tahun, ataupun seseorang yang mendapatkan banyak gelar sertifikasi pelatihan dari berbagai bidang.


Sekali lagi mari merenungi dan melihat kilas balik diri kita. Apakah dengan semua pencapaian yang sudah diraih itu, sudah menjadikan diri kita terbaik diantara yang lain?

Apakah dalam setiap nafas dan pencapaian serta kemampuan yang dimiliki sudah menjadi kebermanfaatan bagi yang lain? Atau hanyalah menjadi penambah keburukan dan kejelekan disekitar kita?

Baru saja kemaren bertemu dengan seorang teman yang memang sedang menjalani proses hijrahnya. Mencari ilmu kesana kemari sampai menemukan yang pas di hati. Sungguh delima dimana ternyata beberapa tempat yang ditemukannya hanya menjadikan dirinya semakin galau untuk menentukan pilihan hidup.

Mencari jalan yang benar-benar baik tidak semudah yang tampak.

Ketika mengikuti majelis ilmu disini mendapat sebuah hal yang tidak sinkron di hati. Ketika mencoba berpindah ke tempat majelis ilmu yang lain, dikatakan apa yang diikutinya tidak sejalan atau tidak sesuai dengan seharusnya. Entah darimana penilaian itu berasal.

Inilah yang akan menampakkan diri kita sebenarnya seperti apa.

Kita yang baru belajar sibuk memvonis yang lain. Plis deh, kita sama-sama belajar. Salah itu dibenarkan dengan cara yang benar. Lagi-lagi saya mengulang satu kalimat yang pernah terbaca. “Pada zaman Rasulullah dulu beliau sibuk mengislamkan orang kafir, nah sekarang kita sibuk mengkafirkan orang islam”

Terlepas benar tidaknya hal ini, apakah terjadi atupun hanya sekedar informasi yang tak ada bukti. Tapi kita secara tidak sadar sudah mengelompokkan setiap orang dalam pandangan yang juga berbeda.

Jika seorang preman yang sedang mencari jalan untuk berubah dan bertanya seperti ini, “Bagaimana jika orang yang melakukan sholat tapi bertato?”

Apakah jawaban terbaik yang akan kamu berikan? Jika kamu mengatakan itu haram tidak boleh, berdosa besar, dan sebagainya yang menunjukkan hal yang kurang berkenan, kira-kira bagaimana respon preman ini? Akankah mendengarkan atau tersinggung?

Jika dikatakan seperti ini, “Wah bagus itu, mantap. Malah lebih aneh kalau tidak bertato, juga tidak sholat kan?”

Mereka akan merasa lebih dihargai. Nantinya inshaAllah dengan hidayah Allah, sendirinya akan menyadari salah dan benarnya apa yang dilakukan. Tentang tatopun mereka sendiri yang akan menghapusnya tanpa perlu kita mengancam dengan hukuman dan peringatan keras lainnya.

Lha kita? Jangankan mau mengajak orang untuk berbuat baik dan mengikuti jalan kebaikan. Teman sendiri yang berubah sedikit aja langsung mengatakan bukan kelompok kita. Subhanallah, padahal kita masih sesama islam dan muslim.

Tentu tidak asing lagi bagaimana menasehati dengan hikmah itu penting.

Ingatlah, kesalahan bukan untuk dipermalukan, tapi dinasehati dengan hati yang tenang. Keburukan bukan untuk diumbar kesemua orang, namun di selesaikan secara personal dan perlahan. Tidak akan ada sebuah kebaikan hati jika dilakukan dengan penyelesaian emosi. Dan mungkin karena hal yang kecil inilah derajat kita di pandanganNya jauh lebih buruk daripada orang yang sepertinya kita anggap bburuk.

Wallahu’alam bishshowab

Salam kebaikan.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;