Saat pertama kali mengikuti Risma, keinginan untuk berjilbab
belum sedikit pun menaungi hati dan pikiranku. Yang ada dalam benakku hanyalah
bagaimana membuat rambutku terlihat rapi dan enak dipandang. Seiring
berjalannya waktu aku terus mengikuti kegiatan rohis meskipun terkadang aku
mengikuti itu karena terpaksa.
Temanku selalu mengajakku mengikuti kajian mingguan hingga
aku merasa tak enak hati jika terus menolak dengan berbagai alasan. Setelah
beberapa bulan niatku untuk berjilbab mulai tumbuh menghiasi hatiku, namun
sayangnya niat itu tidak kupupuki dengan kesungguhan sehingga yang ada hanyalah
niat belaka.
Ketika
duduk di kelas satu, aku berniat akan berjilbab saat kelas dua. Namun ketika
kelas dua tak kunjung memakai jilbab dengan alasan ingin menghijabi hati
terlebih dahulu. Kurangnya semangat dari orang tua membuatku juga kurang
termotivasi untuk berjilbab.
“Nanti aja
berjilbabnya saat kau telah dewasa. Puasilah dulu bergaya. Nanti waktu lagi
berjilbab, lagi tren model rambut ini itu kamu mau lepas jilbab.” Kata-kata
itulah yang selalu terngiang dalam benakku saat ingin berjilbab.
Bagiku izin
ibu adalah segala-galanya untuk memutuskan segala sesuatu. Karena ibu belum
mengizinkan, aku takut hal yang ibu pikirkan akan menjadi kenyataan jika tetap
mengikutinya. Aku pun tetap menunda niat baikku meski seorang teman yang
merupakan akhwat sejak SMA telah berulang kali membacakan dalil tentang
kewajiban berjilbab. Namun hal tersebut tak membuat hatiku takut dan mengikuti
perintahNya hingga tiba saatnya hidayah datang mengetuk pintu hati.
Saat hidayah datang menghampiri, kusambut ia dengan sepenuh
hati. Hidayah telah menyinari hatiku hingga timbul komitmen di dalam hati untuk
terus mengenakan hijab sampai nanti hingga hanya ajal yang dapat menghapus
jejakku.
Ketika
pikiran ingin berjilbab muncul dalam benakku, yang aku pikirkan jika terus
menghentikan realisasi dari niat awal untuk berjilbab, maka aku tidak akan pernah
bisa berjilbab. Meskipun ibu belum terlalu mengizinkan dengan alasan yang sama,
aku tetap akan berjilbab saat itu juga karena jika tidak hari ini, kapan lagi
akan berjilbab.
Tipu muslihat syetan sangat halus bermain di dalam perasaan
manusia. Cepatlah lakukan apa yang kau niatkan sebelum ia mempermainkanmu
hingga tak ada celah lagi untuk berlari dari mahluk jahanam itu.
“Res, kenapa
kamu berjilbab? Mau cari hidayah untuk ulangan ya?” Temanku berbicara dengan
cukup lantang di hari pertamaku berjilbab.
Hari
pertama aku berjilbab dimulai bersamaan dengan mulainya ujian akhir. Jadi tak
heran jika temanku berpikir seperti itu meskipun kenyataannya dugaan tersebut
hanya kebetulan saja. Aku hanya tidak ingin menunda niat baik ini lebih lama
lagi. Celotehannya pun hanya ku balas dengan senyuman sambil sedikit berkata.
“Ya,
Alhamdulillah dapat hidayah dari Allah di saat yang tepat.”
Walaupun
belum banyak yang bisa dirubah, jilbab telah membuatku perlahan mengubah sifat
buruk dalam diriku. Waktu terus berlalu dan jilbab selalu setia menemani.
Keceriaan dan kebersamaan telah menghantarkanku pada dimensi waktu panjang yang
terasa sangat singkat. Cinta, canda, tawa, air mata, kebersamaan, perjuangan
telah terukir dalam sebingkai kenangan yang tak akan lekang oleh waktu.
Semua kenangan itu harus aku letakkan di serpihan hati
khusus agar tak sedikitpun usang
termakan waktu. Dan suatu saat nanti akan aku buka serpihan itu dan akan aku
tunjukkan pada dunia betapa beruntungnya memiliki teman seperti mereka.
Meskipun kini kami terpisah karena telah mengakhiri masa sekolah dan memulai
jejak awal masa depan di jurusan yang berbeda-beda
0 komentar:
Posting Komentar