Senin, 08 Juni 2020

Si pecinta warna biru 5 juz.

Tengah malam, belum bisa tidur setelah mati lampu dan ide memaksa untuk keluar. Ya sudahlah, mungkin akan bergadang pake banget, besok tinggal tidur siang aja deh ya.

Assalamualaikum sobat pembaca. Kembali bercerita jejak angkatan 6 yang terlintas secara acak. Kali ini akan bercerita seorang anak tilmidzat yang saya sepakat jika tidak pernah dipanggil karena masalahnya. Dan selalu menyandang minimal dua penghargaan bintang disetiap semester diangkatannya.

Annisa Zaahiyah nama lengkapnya. Nisa atau ica sapaan akrab oleh teman-temannya.

Di awal masuk penyuka warna biru ini terkenal dengan kepolosannya bahkan sampai sekarang pun iya. Momen pertama kepolosan yang paling melekat, saat itu adalah ulangan bahasa Indonesia, dan kebetulan saya menjadi pengawas dikelas mereka. Lalu bertanyalah dengan benar-benar bertanya arti dari kata dangkal itu apa. Saya yang penasaran membaca dulu soal dan pilihan gandanya. Akhirnya tidak bisa membalas tanggapan, karena dangkal adalah jawabannya.

Awalnya tidak percaya, apa sebegitu tidak tahunya atau main-main nih. Hehe. Soalnya dengan beberapa angkatan sebelumnya terkadang kalau tidak mengecek soal, terjebak dengan bertanya seolah-olah ada soal yang tidak dipahami namun ternyata petunjuk untuk jawabannya.

Setelah ditelisik memang tidak tahu sama sekali artinya. Namun tetap tak bisa diberitahu ketika ulangan dong artinya, hehe.

Setelah makin lama, dalam keseharian barulah disadari memang kosakata yang tidak biasa Si Nisa, begitu saya biasa memanggilnya, tidak ada dalam pemahaman nisa. Banyaklah terkadang terjadi kelucuan dengan beliau karena begitu banyaknya hal yang terkadang beliau belum bisa langsung mencernanya. Dan julukan si polos itu memang cukup melekat.


Namun di tengah-tengah itu ada hal yang akhirnya saya sadari. Betapa terjaganya sang hafizhah ini. Ditengah candaan, saya sering berpikir bagaimana penjagaannya dirumah, didikan orangtuanya dan semua hal, sampai istilah umum apalagi yang kurang baik beliau tidak mengetahuinya. Salah kalau dibilang itu kebodohan, tapi saya menyebutnya kemurnian. Sebuah pribadi yang bersih terjaga dari pengaruh luar. Semoga tidak berlebihan ya, hehe.

Setelah beberapa kali berbincang dengan ayahnya. Barulah saya bisa memhami bagaimana atmosfir kemurnian itu didapat. Keluarga yang dibentuk, prinsip yang ditekankan, ah, tak mampu langsung mencernanya sekaligus, namun bisa dipahami.

Keisengan tentu menjadi ciri khas saya. Sekali mencoba usil dengan sedikit marah dengan beliau. Yang akhirnya hampir menangis. Tentu setelah minta maaf kembali cair. Hehe, maaf sudah jahil ya nak.

Beranjak kelas dua, tentu perkembangan beliau juga Alhamdulillah. Salah satu yang paling menonjol dibidang hafalan. Dan saudaranya yang memiliki karakter 360 derajat namun tetap saling peduli, satu sekolah dan masuk menjadi adik kelasnya. Oke, kita belum akan membahas si ilak ya, hehe.

Karena ketika nisa di kelas satu yang saat itu saya menjadi guru Konseling untuk kelas 7 talamidz dan tilmidzat, begitu banyak menerima curahan ceritanya.

Masih ingat bagaimana si Nisa sering kali dengan kepolosannya, sangat mudah terbawa suasana, dan juga sulit untuk menolak hal-hal tertentu. Dengan empati yang tinggi, selalu membawa pemilik ketawa khas ini sesekali terjebak dengan kebaikannya yang tulus.

Sebagai guru konseling, cukup sering untuk menjadi tempat ceritanya. Awalan cerita sebelum memulai dengan gaya lucu bicaranya dan jari telunjuk yang menghadap keatas, pasti bilang gini, “tapi janji ustadz nggak bilang siapa-siapa ya” plus cengiran atau kemurungannya. Tergantung kondisinya saat itu. Cukup banyak hal-hal rahasia bagi dirinya atau solusi yang ingin dipikirkannya didiskusikan. Sebagian besar masih agak menempel cerita-ceritanya.

Sampai, ketika sudah naik kelas dan tidak lagi mengajar di kelas delapan saat itu. Masih sesekali nisa mencari waktu untuk bertanya dan cerita. Sampai adiknya ilak, kata si Nisa pernah dibilangin “kok mbak sering ceritanya ke ustadz uus” kurang lebih gitu lah. Kami ketawa aja ketika nisa menceritakan itu. Eh ila belum tahu ya hal ini, hehe.

Di kelas Sembilan saya fokus dipembagian kelas laki-laki, hanya sesekali melihat kegiatan kelas yang dulu pernah diajar. Ah, satu kali pernah masuk ketika menggantikan ustadz merwan sebentar saat beliau ada keperluan di kantor. Mengajarkan tentang internet dan computer (pindah lagi kan mapelnya)

For the last, meski tak akan bisa diceritakan semua secara detail, dengan berbagai momen dan rasa perpisahan, Seorang yang namanya hanya beda satu huruf dengan nama karakter cerpen yang saya buat beberapa tahun lalu bisa lihat di tulisan bagian https://izzuddinalqosam5.blogspot.com/2016/09/review-cerpen-dalam-kumcer-surat-dari.html ya, hehe. Meninggalkan tangisan yang pecah di hari pelepasan. Sampai tangan bergetar saat diminta memfotonya dengan guru lainnya.


Doa terbaik semoga istiqomah, dan bertambah 5 juznya sampai nanti 30 juz. Aamiin.

 


0 komentar:

Posting Komentar

 
;