Menjadi
mahasiswa tentu banyak sekali hal yang menjadi ekspektai untuk dilakukan. Salah
satunya menjadi seorang aktivis. Makna aktivis sendiri berbeda dan banyak
definisinya bagi setiap orang. Tapi apa yang menjadi pemikiran umum, aktivis
adalah seseorang yang melakukan banyak kegiatan terutama berada di sebuah
organisasi.
Entah
itu di organisasi politik kampus, dakwah kampus, seni, ataupun keilmuan mereka
para mahasiswa yang berkecimpung di bagian sini seringkali disebut sebagai
seorang aktivis. Lalu, apa sih yang seharusnya dilakukan ketika menjadi seorang
aktivis?
Banyak
yang menganggap seorang yang telah mencapai status mahasiswa, memiliki
kemampuan di banyak bidang, padahal seyogayanya mereka hanya lebih memfokuskan
sesuatu di satu bidang saja. Mendalami hal itu dan menjadikannya kemampuan
untuk di tonjolkan dari kemampuan lain sehingga menjadi lebih terarah.
Salah
satu yang sering menjadi hal yang dilakukan aktivis dengan menggelar seminar
dan pertemuan keilmuan. Apapun bidang dan namanya, hal seperti ini pasti akan
menjadi salah satu program bagi setiap organisasi dengan banyak aktivis
didalamnya.
Berbicara
dengan salah seorang aktivis yang cukup aktif dalam kegiatannya di kampus pada
masa jayanya sebagai mahasiswa, menghasilkan sebuah pemikiran yang juga membuat
saya terangguk-angguk. Tanpa maksud ingin membandingkan, tapi sepertinya memang
semangat dan gerak langkah aktivis makin ke sini, makin nampak loyo, ujar sang
aktivis tersebut.
Kenapa
ya loyo? Apa karena tidak ada tenaga dan tidak mampu bergerak?
Bisa
dikatakan seolah seperti itu. Kenapa sampai terlontar pernyataan ini, tentunya
ada sesuatu yang terperhatikan sehingga menjadi seperti ini.
Menjadi
seorang aktivis tentu bukan hanya sekedar nama panggilan yang menjadi umum
dibicarakan oleh banyak orang. Menjadi aktivis seharusnya menjadi lompatan
untuk bisa berperilaku professional dalam setiap hal. Kembali ke contoh kita
ketika sekumpulan aktivis mengadakan sebuah program berbentuk seminar atau
pelatihan.
Kembali
dengan perbincangan seorang aktivis yang pernah melanglang buana pada masanya.
Menanyakan perkembangan pergerakan aktivis sekarang yang menurutnya sudah cukup
menurun.
Misalnya
jika mengundang pemateri dari luar kota apalagi sekelas nasional. Biasanya kita
akan mencari dengan bayaran yang murah bila perlu gratis. Biasalah, dana sampai
sekarang masih menjadi salah satu kendala utama kebanyakan organisasi yang
dihuni oleh banyaknya aktivis muda.
Lalu
dimana letak salahnya? Memang tidak salah jika mengundang mereka yang gratis
lalu tidak memberikan apa-apa. Tapi sebagai pola pikir seorang professional apa
itu pantas. Seringkali pola pikir yang terlalu dangkal dan belum terbiasa
dengan pengorbanan membayar untuk sesuatu yang lebih besar membuat diri kita menjadi
manja akan banyak hal.
Mentang-mentang
gratis, apakah etis jika hanya memberikan piagam lalu plakat. Adakah yang
terpikirkan untuk memberikannya sesuatu yang lebih bermanfaat. Seorang pemateri
saja, setidaknya setingkat kota atau wilayah, secara rasional mendapatkan
bayaran kisaran lima ratus ribua ke atas. Bisa lebih murah atau lebih mahal
tergantung apa yang diisinya ataupun berapa lama waktu dia mengisi.
Jika
melihat pola yang ada di sekitar kita memang penghargaan untuk ilmu itu cukup
murah. Para guru honor yang dibayar tidak seberapa. Guru mengaji yang bahkan
bayarannya lebih rendah dari tukang sapu jalan. Pernah melihat sebuah list di
beberapa tempat, bayaran untuk seorang yang mengajar ngaji untuk anak-anak
kisaran tiga ratus sampai lima ratus ribu. sungguh ini sebenarnya keterlaluan.
Masih teringat cerita teman di singapura yang disana seorang guru ngaji di
bayar sebesar empat ribu dollar.
Nah
inilah yang perlu di rubah tentang pola pikir kita akan sebuah pengorbanan.
Misalnya seorang aktivis dakwah, anggaplah mengundang ustadz/ustadzah dalam
mengisi materi ceramah. Apakah cukup hanya dengan kue kotak, ucapan syukron dan afwan. Rasanya ada rasa hormat yang lebih dalam memberikan sesuatu
yang lebih bermanfaat. Bukan berarti kita menginginkan menjadi seorang yang
materialistis.
Adapun
aktivis keilmuan lainnya. Tidak cukup hanya sekedar piagam, plakat, atau
cinderamata khas daerah yang diberikan kepada seorang pemateri apalagi setingkat
nasional.
Dalam
banyak agendapun terlihat betapa takutnya ketika ingin memasang pendaftaran
dengan nominal lima puluh ribu ke atas. Hal ini lah yang membangun mindset
kebanyakan orang menganggap ilmu itu adalah murah. Ketika diberikan yang gratis
malah menolak menganggap kurang berkualitas. Lalu jadi serba salah kan?
Yah,
tentu tidak ada yang mau disalahkan. Saya pun hanya menuliskan saja beberapa
tanggapan yang terjadi akan seberapa “menggigitnya” aktivis zaman sekarang. Tak
ada yang disinggung dan maksud untuk menyinggung, karena menjadi seorang yang
berkualitas dan professional dalam banyak hal itu harus. Dengan menempa mental
dari awal, lalu dikembangkan ke tingkatan yang lebih tinggi.
Semoga
semua dari diri kita mampu terus meningkatkan kapasitas diri untuk melakukan
seuatu.
Salam
kebaikan.
0 komentar:
Posting Komentar