Minggu, 26 Maret 2017

Plisss, Professional dong Aktivis



Menjadi mahasiswa tentu banyak sekali hal yang menjadi ekspektai untuk dilakukan. Salah satunya menjadi seorang aktivis. Makna aktivis sendiri berbeda dan banyak definisinya bagi setiap orang. Tapi apa yang menjadi pemikiran umum, aktivis adalah seseorang yang melakukan banyak kegiatan terutama berada di sebuah organisasi.

Entah itu di organisasi politik kampus, dakwah kampus, seni, ataupun keilmuan mereka para mahasiswa yang berkecimpung di bagian sini seringkali disebut sebagai seorang aktivis. Lalu, apa sih yang seharusnya dilakukan ketika menjadi seorang aktivis?

Banyak yang menganggap seorang yang telah mencapai status mahasiswa, memiliki kemampuan di banyak bidang, padahal seyogayanya mereka hanya lebih memfokuskan sesuatu di satu bidang saja. Mendalami hal itu dan menjadikannya kemampuan untuk di tonjolkan dari kemampuan lain sehingga menjadi lebih terarah.

Salah satu yang sering menjadi hal yang dilakukan aktivis dengan menggelar seminar dan pertemuan keilmuan. Apapun bidang dan namanya, hal seperti ini pasti akan menjadi salah satu program bagi setiap organisasi dengan banyak aktivis didalamnya.

Berbicara dengan salah seorang aktivis yang cukup aktif dalam kegiatannya di kampus pada masa jayanya sebagai mahasiswa, menghasilkan sebuah pemikiran yang juga membuat saya terangguk-angguk. Tanpa maksud ingin membandingkan, tapi sepertinya memang semangat dan gerak langkah aktivis makin ke sini, makin nampak loyo, ujar sang aktivis tersebut.

Kenapa ya loyo? Apa karena tidak ada tenaga dan tidak mampu bergerak?

Bisa dikatakan seolah seperti itu. Kenapa sampai terlontar pernyataan ini, tentunya ada sesuatu yang terperhatikan sehingga menjadi seperti ini.

Menjadi seorang aktivis tentu bukan hanya sekedar nama panggilan yang menjadi umum dibicarakan oleh banyak orang. Menjadi aktivis seharusnya menjadi lompatan untuk bisa berperilaku professional dalam setiap hal. Kembali ke contoh kita ketika sekumpulan aktivis mengadakan sebuah program berbentuk seminar atau pelatihan.

Kembali dengan perbincangan seorang aktivis yang pernah melanglang buana pada masanya. Menanyakan perkembangan pergerakan aktivis sekarang yang menurutnya sudah cukup menurun.

Misalnya jika mengundang pemateri dari luar kota apalagi sekelas nasional. Biasanya kita akan mencari dengan bayaran yang murah bila perlu gratis. Biasalah, dana sampai sekarang masih menjadi salah satu kendala utama kebanyakan organisasi yang dihuni oleh banyaknya aktivis muda.

Lalu dimana letak salahnya? Memang tidak salah jika mengundang mereka yang gratis lalu tidak memberikan apa-apa. Tapi sebagai pola pikir seorang professional apa itu pantas. Seringkali pola pikir yang terlalu dangkal dan belum terbiasa dengan pengorbanan membayar untuk sesuatu yang lebih besar membuat diri kita menjadi manja akan banyak hal.

Mentang-mentang gratis, apakah etis jika hanya memberikan piagam lalu plakat. Adakah yang terpikirkan untuk memberikannya sesuatu yang lebih bermanfaat. Seorang pemateri saja, setidaknya setingkat kota atau wilayah, secara rasional mendapatkan bayaran kisaran lima ratus ribua ke atas. Bisa lebih murah atau lebih mahal tergantung apa yang diisinya ataupun berapa lama waktu dia mengisi.

Jika melihat pola yang ada di sekitar kita memang penghargaan untuk ilmu itu cukup murah. Para guru honor yang dibayar tidak seberapa. Guru mengaji yang bahkan bayarannya lebih rendah dari tukang sapu jalan. Pernah melihat sebuah list di beberapa tempat, bayaran untuk seorang yang mengajar ngaji untuk anak-anak kisaran tiga ratus sampai lima ratus ribu. sungguh ini sebenarnya keterlaluan. Masih teringat cerita teman di singapura yang disana seorang guru ngaji di bayar sebesar empat ribu dollar.

Nah inilah yang perlu di rubah tentang pola pikir kita akan sebuah pengorbanan. Misalnya seorang aktivis dakwah, anggaplah mengundang ustadz/ustadzah dalam mengisi materi ceramah. Apakah cukup hanya dengan kue kotak, ucapan syukron dan afwan. Rasanya ada rasa hormat yang lebih dalam memberikan sesuatu yang lebih bermanfaat. Bukan berarti kita menginginkan menjadi seorang yang materialistis.

Adapun aktivis keilmuan lainnya. Tidak cukup hanya sekedar piagam, plakat, atau cinderamata khas daerah yang diberikan kepada seorang pemateri apalagi setingkat nasional.

Dalam banyak agendapun terlihat betapa takutnya ketika ingin memasang pendaftaran dengan nominal lima puluh ribu ke atas. Hal ini lah yang membangun mindset kebanyakan orang menganggap ilmu itu adalah murah. Ketika diberikan yang gratis malah menolak menganggap kurang berkualitas. Lalu jadi serba salah kan?

Yah, tentu tidak ada yang mau disalahkan. Saya pun hanya menuliskan saja beberapa tanggapan yang terjadi akan seberapa “menggigitnya” aktivis zaman sekarang. Tak ada yang disinggung dan maksud untuk menyinggung, karena menjadi seorang yang berkualitas dan professional dalam banyak hal itu harus. Dengan menempa mental dari awal, lalu dikembangkan ke tingkatan yang lebih tinggi.

Semoga semua dari diri kita mampu terus meningkatkan kapasitas diri untuk melakukan seuatu.

Salam kebaikan.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;