Assalamualaikum
sobat pembaca sekalian. Sudah dari tanggal 13 maret yang biasanya gerak kesana
kemari, langsung bergerak dirumah aja sendiri. Yah mesti nggak semua aspek juga
sih. Ah, kalau bahas ini sudah pusing dan mumet kali ya. Sudah banyak ahli sana
sini dengan berbagai teori memberikan semua saji yang kita lahap sampai tak
tertelan lagi.
Lantas apa
yang mau saya bahas kali ini, apa yang dekat dengan saya saja. Berhubung tulisan
terakhir desember 2019 lalu, jika masih banyak yang kurang sana sini mohon
dimaklumi ya. Mau mencoba kembali mengisi blog ini dengan tulisan-tulisan
ringan, receh, atau mungkin gaje. Yang penting menulis aja lah ya, hehe. Yang mau
berselancar dengan tulisan-tulisan ringan saya di blog ini silahkan ya.
Oke, kembali
ke tulisan yang ingin saya bahas kali ini. Tentang sekolah.
Kenapa sekolah,
ya karena sekarang saya mengajar di sekolah, dan ini hal yang paling terasa
selama stay at home dalam dua bulan lebih ini. Mengajar di salah satu SMP
Swasta di Kota Bengkulu selama tiga tahun terkahir ini tentu banyak
pembelajaran yang paling terasa dilaksanakan. Meski mungkin posisi status yang
bukan tinggi disekolah, namun ilmu itu didapat dari learning by doing selama pembelajaran.
Bahkan untuk
sekarang-sekarang teman komunikasi paling banyak didominasi anak murid dan wali
murid. Sampai wali murid yang anaknya belum masuk, hehe. Di setiap komunikasi
itu selalu mencari celah pembelajaran oleh para orangtua yang tentunya lebih
berpengalaman dari segala sisi. Saya hanya memiliki secuil hal yang dimiliki
dalam membantu anak-anak mereka. Berbeda dengan para orang tua yang darah
daging semua sudah tercurahkan.
Maka, kadang
merasa tidak enak yang besar ketka para ananda atau anak walimurid ini lebih mengikuti
kata gurunya. Sering sekali kutipan seperti ini terlontar. Namun, hal itu jadi
peluang untuk menjadi orangtua kedua bagi para murid. Menyamakan suhu dengan
para orangtua, ketika mereka mencurakan beberapa bagian hidupnya kepada kita,
apa yang diajarkan dan disampaikan jadi tidak beda jauh dengan apa yang
dirasakan di rumah mereka.
Lantas,
semua itu berubah ketika Negara api menyerang, #Cirini (Bahasa anak-anak sih
gitu)
Yups, dua
bulan lebih beradaptasi dengan semua perubahan mendadak dimana harus menolah
semua pembelajaran dengan online. Adaptasi dengan aplikasi, keisapan kesigapan
dan kematangan dalam melaksanakannya. Kerjasama antara orangtua – Guru –
terutama murid sangat diperlukan. Miskomunikasi di satu sampai dua minggu awal tentu
hal yang wajar. Karena perubahan ini perlu proses agar terbiasa, tidak seperti
power ranger, tinggal bilang Henshin
berubah deh dan punya kekuatan.
Dari tidak
semua ananda yang memiliki fasilitas smartphone, atau gantian dengan orangtua
yang juga mau kerja. Tidak semua ada laptop, dan tidak semua juga bisa
mengoperasikan aplikasi pembelajaran yang ada dengan seketika. Gurupun jika mau
disatukan suhu tentu ada yang bisa ada yang tidak, otomatis juga menggunakan
yang paling bisa dikuasai untuk digunakan dalam proses pembelajaran onlinenya,
dan mengakibatkan semua sistem tersedia dengan cara beragam. Di cocok cocokkan
ajalah semuanya ya.hehe.
Namun, itu
semua kondisi yang membuat kita harus menyesuaikan semuanya. Mau menyalahkan
tentu tidak boleh. Semua apa-apa yang terjadi sudah ada ketentuan dan pasti ada
hikmahnya. Banyak positif jika berkaca dari sudut pandang yang lain. Dari yang
lebih meningkatkan kebersihan diri, menjaga agar tidak asal sentuh, auto tidak
salaman dengan yang bukan mahrom, dan hal lainnya.
Kita bisa
melihat juga yang lebih peduli dengan orang lain. Siapa yang lebih
mengedepankan ego atau simpatinya. Terbuka semua deh sifat kita juga kan. Oke,
kita kembali bahas terkait sekolah ya, hehe.
Setelah berjalan
dua minggu awal belajar onlen di rumah. Banyak anak-anak yang mulai mengeluh. Rindu
sekolah, pusing belajar onlen, dan sebagainya. Dari orangtua pun juga banyak
yang memiliki cerita. Harus menjadi guru semua mata pelajaran, menghadapi
pertanyaan yang tak tertahankan, dan lain-lainnya.
Para guru
tak kalah shocknya dong. Namun terlepas dari itu semua, disini kembali kita
memandang hal positifnya adalah bagaimana kita siap menghadapi keadaan dengan
semua hal yang dadakan. Sehingga kita tidak menjadi orang yang ketinggalan
jaman.
Sekarang kita
bisa melihat, peningkatan kasus #Cirini yang semakin melonjak, para dewan atas
langit yang entah mau seperti apa, belum lagi para sekitar kita yang masih
bandel dengan kepedeannya berkeliaran kemana-mana. Sekarang semua pandangan
mulai berubah. Sekolah lebih baik ditunda daripada terjadi apa-apa. Entah benar
atau tidak, namun melihat headline salah satu Negara maju yang mencoba sekolah
dengan keadaan baru ternyata gagal, dan kembali meliburkan sekolahnya karena
ada anak yang terpapar. (koreksi jika salah ya)
Maka dari
itu, sebagai salah seorang guru, juga berpendapat bahwa lebih baik berpisah
sementara daripada berpisah selamanya. Tak apa mundurkan tahun ajaran baru satu
semester, daripada masuk bikin semua pihak keteter. Bersabarlah dan mulai
kreatif. Disini keluarkan semua ide dan inisiatif. Namun hanya bisa berpendapat
dan menuliskan saja. Apapun keputusan dan kebiajakan atas semua yang ada, akan
diikuti nantinya.
Dan dibagian
terakhir ini, luaskan pandangan dan pikiran. Salah satunya bersiap dengan karya
berikutnya yang inshaAllah akan saya proses terbit. Doakan ya, hehe. Kalau ada
rezeki minimal satu judul buku maksimal dua judul buku. Kalau tahun ajaran baru
ternyata tetap dilanjutkan juli ini, minimal satu judul buku, kalau ternyata
diundur tahun depan semoga bisa dua
judul buku. Katanya kalau ide tidak disampaikan nanti hanya tersimpan saja,
jadi saya sampaikan semoga banyak yang mengirimkan doanya, hehe.
So, untuk
semua ayah bunda ananda dan semua guru seindonesia. Mari kreatif, banyak
inisiatif, dan pinter-pinter otaknya diputer untuk nambah insentif (ups, hehe).
Mari cerdaskan anak bangsa dengan segala cara dan jangan lupa selalu kirimkan
doa. Salam kebaikan.





0 komentar:
Posting Komentar